blank

Tiba-tiba Mbah Jogo cengunguk duduk di teras masjid desanya saat pengajian tafsir modern berlangsung. Kebetulan waktu itu penceramah memberi suapan ayat tentang keberadaan Tuhan. Jama’ah seksama mendengarkan ustadz di mimbar itu. Dibacakanlah Al-Qur`an surat Taha ayat 5 beserta terjemahnya. Kemudian Si Ustadz menguraikan dengan khas isi ayat itu. Mbah Jogo yang sedari tadi hanya duduk, nylonong masuk dan berteriak “Ustadz ngawur!”. Sontak Jama’ah menoleh ke pawakannya. Bersarung, berkopyah hitam kering pekat, dan berkaos putih kumuh.

Jama’ah dan Ustadz sejenak terdiam. Panitia hampir saja menyuruh keluar masjid. Tapi Si Ustadz mencegahnya.

“Silahkan Bapak bila ada pertanyaan!” dengan gaya santunnya, Si Ustadz menyilakan Mbah Jogo untuk berbicara.

“Aku iki ora arep takon, mung arep ngelokna kowe” saut Mbah Jogo.

“Ngaji itu tidak sekadar mulut berkoar, lidah bersilat, dan tidak hanya hafalan ayat saja. Tapi butuh ketenangan hati, jiwa ditata, jiwa diasah, diajak mikir sejatining jagat dan pemiliknya. Masak gusti Allah kok mbok arani manggon ning ‘arsy piye?” Terang Mbah Jogo
Kajian tafsir Al-Qur`an di masjid desa itu memang sebulan sekali menghadirkan narasumber berbeda-beda. Kebetulan waktu ini diisi oleh ustadz papan atas lulusan Timur Tengah. Mendengar ocehan Mbah Jogo, Si Ustadz kembali membuka lembaran Al-Qur`an dan membacakannya kembali. “A’udzu billahi minasy syaithonir rojim. Arrohmanu ‘alal ‘arsyis tawa.”

“Ayat ini sudah jelas dan gamblang bagaimana Allah itu bersemayam di ‘arsy. Artinya tidak perlu diperdebatkan karena sudah nash. Jika kita mengingkari nash sama halnya kita mengingkari Al-Qur’an sendiri.” Jelas Si Ustadz. Tanpa basa basi Mbah Jogo berlogika melemparkan pertanyaan kepada Ustadz. “Pak, aku sangat yakin bahwa Allah itu Maha Kuasa. Allah berkuasa menciptakan ‘arsy. Jika ‘arsy tidak diciptakan, Allah tinggal dimana, Pak?”

Si Ustadz menyalahkannya karena Mbah Jogo telah menggunakan logikanya dalam memaknai atau menafsirkan ayat. Si Ustadz menambahkan bahwa Al-Qur`an tidak boleh bahkan haram ditafsiri dengan pendapat dan logikanya sendiri.

“Walah walah, lha koq ilmune sampeyan durung nyandak ngono!” Jawab Mbah Jogo dan pamit meninggalkan majelis.

***

Dalam gejolak fenomena sekarang ini, rupanya seseorang makin menampakkan sisi ulungnya dalam “menghidupkan” pemahaman beragama. Sisi yang dimaksud adalah pola memahami Al-Qur`an melalui apa yang disebut tafsir.

Tafsir merupakan satu idiom pemaknaan Al-Qur`an yang jika tidak menggunakannya tidak pula dikatakan paham makna. Tafsir adalah instalasi pemikiran dan pemahaman apa yang berkenaan dengan kebenaran. Sering ia digunakan dalam momen tertentu agar sebuah perkara pecah dan bersolusi berkat ditunjukkannya ayat Al-Qur`an sebagai pemecah kebuntuan.

Ada yang mengatakan bahwa sebuah tafsir itu mempersyaratakan penggunanya untuk berlogika atau syarat bertafsir itu berlogika. Jika logika yang dikuncikan, maka setiap manusia harus benar-benar sadar dan terpaksa menggandrungi logika itu sendiri. Jika itu benar, logika adalah syarat utama bertafsir. Bertafsir adalah cara memahami dan mendapatkan kebenaran. Maka, logika adalah syarat utama dalam memahami dan mendapatkan kebenaran. Jika memang demikian, maka potensi kebenaran seseorang muncul berbeda-beda karena logika dan berlogika setiap manusia pun tidaklah sama. Kita akan bisa mengatakan logika yang digunakan orang Arab bisa berbeda dengan orang Barat, bahkan dengan orang Jawa sekalipun.

Pantas saja kita banyak menemui sisi-sisi perbedaan pendapat madzhab. Imam Syafi’i beradu dan berbeda pendapatnya dengan Imam Maliki dan Imam Hanafi. Apalagi sekarang, tentu tidak heran, betapa banyak ulama yang “berkeliaran” pendapat-pendapatnya dan saling bertentangan, sehingga orang awam yang kurang ilmunya akan jatuh bimbang siapa yang harus diikutinya dan sampai mendem dan muntah-muntah akibat kebanyakan fatwa atau hukum oleh ulama.

Bagaimana cara dan formula pelaksanaan logika yang “semata”? Mungkinkah logika bisa “berdiri sendiri” atau “berlaku sendiri”? Kalau menafsirkan Al-Qur`an tanpa perangkat-perangkat seperti yang dipersyaratkan, apakah itu logis? Dan apakah itu bisa dilaksanakan serta menghasilkan suatu pemaknaan yang diseyogyakan? Bukankah justru logika yang mengantarkan Penafsir untuk menggunakan syarat-syaratnya? Bukankah logika, yang merupakan tulang punggung dari akal, justru merupakan persyaratan dasar dari kegiatan menafsirkan? (Daur II: 096).

Gambang Syafaat edisi 25 Mei 2017 ini mengangkat fenomena “Mendem Tafsir” di kala seseorang makin merasa semua bisa menafsirkan Al-Qur`an. Padahal ada banyak persyaratan dalam memahaminya. Bagaimana mikro dan makro polanya, tentu bakal ada relevansi pemahaman terkait, tidak asal comot ataupun berkelakar sesaat demi pertunjukan pemenangan individu.[] (Redaksi-MAKHB)