blank

Di forum Gambang Syafaat tanggal 25 Oktober kemarin, Mbah Nun sempat menyampaikan bahwa nanti tanggal 4 November 2017 jadwal Padhangmbulan dan BangbangWetan akan digabung dalam satu forum di Menturo. Beliau berharap kehadiran anak cucunya di sana, jika tidak bisa hadir juga tidak apa-apa. Beliau juga menyampaikan, kalau di Padhangmbulan nanti akan diberi bacaan dan formasi Wirid untuk semua JM yang hadir.

Siang hari tanggal 4 November 2017 sekitar pukul 13.00 WIB saya beranjak pergi menuju Desa Menturo Jombang. Sekitar enam sampai tujuh jam jarak yang harus saya tempuh dari kota Jepara tempat saya berdomisili. Hujan lebat pun menguyur ketika saya baru beranjak pergi dari tempat kerja, tetapi saya terjang dengan mengendarai sepeda motor, dengan penuh konsentrasi saat di jalan karena hujan yang begitu lebat tadi,  tidak menyurutkan niat saya yang sudah ingin hadir di Menturo dalam acara Padhangmbulan. Ya….dinikmati saja meski hujan turun, karena itu merupakan bagian rezeki yang diturunkan Allah.

Sampai di kota Tuban, sempat saya berhenti istirahat sejenak di Masjid alun-alun kota Tuban setelah melakukan perjalanan dengan laju kecepatan 90 kilometer per-jam. Dengan kata Bismillah berangkat Maiyahan selalu saya ucapkan setiap berhenti dimanapun, tapi kalau pergi selain ke acara Maiyahan, saya hanya mengucapkan Bismillah saja. Ucapan seperti itu memang harus selalu saya ucapkan meski saat memulai pekerjaan atau yang lainnya, sebagai keselamatan atau istilah lain ‘Utamakan Keselamatan’.

Setelah satu setengah jam dari kota Tuban, akhirnya saya sampai di Desa Menturo Jombang, saat di sempat bertanya kepada seseorang laki-laki di jalan, saya bertanya, kalau arah Desa Menturo rumah Cak Nun itu arahnya kemana, dia langsung menjawab, kebetulan juga dia mau ke Menturo tetapi dia berhenti sekitar 500 meter sebelum lokasi acara yang saya tuju, akhirnya saya diberi petunjuk arah oleh orang tadi. Alhamdulillah saya sampai di lokasi pukul 18.00 WIB setelah Adzan Maghrib, sampai di sana saya buka aplikasi whatapps di handphone saya, niat saya ingin menghubungi teman-teman saya yang juga hadir di sana, ternyata sinyalnya malah hilang l, otomatis tidak bisa buat menghubungi siapapun apalagi buat telepon.

Saya kebingungan sendiri, akhirnya saya putuskan mencari teman-teman saya. Tidak tahu kenapa kayak seperti ada magnet atau hubungan yang sudah terjalin seperti sudah erat, antara teman-teman yang sudah saya kenal sebagian di sana saat di lokasi Padhangmbulan, padahal saya hanya mencari, malah tiba-tiba saat saya berjalan, bertemu dengan teman-teman saya satu per satu datang bertemu saya di lokasi acara. Ada JM dari Yogyakarta, Semarang, Tuban, Gresik, Kediri, Mojokerto, Surabaya dan Jombang sendiri. Seolah-olah bertemunya itu bergantian satu sama lain, ada yang bertemu papasan di jalan, ada yang bertemu waktu makan di warung, kebetulan juga lagi makan bersama saya dan ada juga yang bertemu ketika saya memanggil seseorang teman yang saya kenal, ada teman saya lagi beli makanan juga ikutan menyapa saya.

Kita semua memang sudah seperti bersaudara, “fid-dunya wal akhirah, kholidina fiha abada”. Bukankah peristiwa atau kejadian saat mau Maiyahan seperti itu memang seharusnya di ingat selalu dan di nikmati, sangat jarang terjadi peristiwa atau kejadian seperti itu saya alami. Apalagi di kota orang lain kita tidak tahu kemana yang kita tuju, malah akhirnya bertemu dengan kerabat yang sudah seperti layaknya kerabat sendiri tadi. Lain halnya saat saya sedang jalan-jalan di mall atau sedang rekreasi, sangat jarang bertemu teman kita ataupun seseorang yang sudah kita kenal sekalipun apalagi berpapasan, malah bisa-bisa tahu saat kita berada di lokasi bukan malah menemui tetapi malah menghindari kita, kejadian seperti itu bagi kalian pasti juga sudah mengalaminya, saya sendiri juga pernah mengalaminya.

Ada lagi peristiwa yang juga membuat saya terharu, ketika acara sudah di mulai, para personil Letto hadir di hadapan saya pada malam itu, memang jujur sebelumnya saya juga belum pernah bertemu seluruh personil Letto, Alhamdulillah malam itu saya bisa bertemu dan juga di menikmati lagu-lagu yang Letto persembahkan. Begitu bahagianya para JM yang lainnya saat Letto mempersembahkan beberapa lagu-lagunya, tidak harus beli tiket, apalagi berdesak-desakan seperti melihat konsernya Letto sendiri. Saya sendiri saja menikmatinya, sudah pasti JM yang lain juga pasti menikmatinya.

Pada malam itu memang suasananya dibilang mengharukan juga bisa, dibilang perjumpaan rindu juga bisa bagi JM yang hadir pada saat itu. Karena mereka semua membaur berbahagia bersama Mbah Nun, Cak Fuad, Letto, KiaiKanjeng dan juga narasumber yang lainya. Ada lagi peristiwa yang sungguh luar biasa, ketika Mbah Nun meminta seluruh JM yang hadir membuat lingkaran dengan JM lainnya di samping kanan kiri kita, beliau meminta yang sudah membuat lingkaran tadi untuk menunjuk salah satu menjadi ketua, kemudian yang menjadi ketua lingkaran tadi untuk segera berdiri mengikuti Mas Helmi dan Mas Jamal di sebelah kanan panggung.

Saya sendiri malah di tunjuk beberapa teman saya di jadikan ketua, akhirnya saya juga menuruti permintaan teman-teman saya dan perintah Mbah Nun tadi. Sejenak mendengarkan petunjuk Mas Helmi dan Mas Jamal, beliau-beliau memberi petunjuk tentang bacaan formasi Wirid yang berjumlah 19 bacaan, rasanya tidak usah terlalu lama diberi petunjuk, hanya sekali diberi petunjuk, mereka para JM yang dijadikan ketua lingkaran tadi dengan cepatnya mudah memahami, tidak ada yang bertanya juga, semua menuruti apa yang sudah di sampaikan beliau tadi.

Waktu itu saya mendapat bagian membaca formasi Wirid nomor 4 dari 19 bacaan Wirid tadi, “Lailaahailla anta subhanaka inni kuntu minadzolimin”, setelah di beri petunjuk, saya dan mereka yang juga sebagai ketua, mendapat bagian membaca Wirid tadi kembali ke tempat masing-masing dan juga gantian memberi petunjuk kepada teman selingkaran sama saya tadi. Yang terjadi pun juga sama tidak banyak bicara atau tanya, apa yang sudah saya sampaikan mereka semua juga langsung paham. Lain halnya ketika saat saya di beri petunjuk oleh guru saya dulu saat masih sekolah, diberi petunjuk satu kali, dua kali sampai tiga kali saja masih banyak bertanya, apalagi ada kata yang tidak jelas, sampai-sampai bermunculan pertanyaan secara terus menerus. Tetapi kenapa di Maiyah justru malah sebaliknya.

Ketika semua JM membacakan bacaan formasi Wirid tadi, seakan-akan yang saya rasakan selama 19 menit itu dari mulai membaca setelah di mulai bacaan Surat Al Fatihah bersama-sama, dalam hitungan tidak sampai lima menit, mereka semua sudah semua menyatu, padahal bacaan formasi Wiridnya berbeda-beda, ada yang panjang, ada juga yang pendek. Saya merasakan seolah-olah panjang pendeknya bacaan tadi memulainya secara bersama, berakhirnya juga secara bersama, terlihat sekali kesungguhan semua JM yang hadir, tidak mungkin hanya niat saja datang ke Padhangmbulan, pasti ada niat yang menghadirkan kalau tidak karena Allah di balik semua itu.

Menjelang Subuh acara Majelis Masyarakat Maiyah Padhangmbulan di akhiri dengan doa, yang dipimpin oleh Cak Fuad. Tidak ada acara jabat tangan kepada Mbah Nun dan narasumber lain, kita semua JM yang hadir juga ikhlas kalaupun tidak ada acara terakhir berjabat tangan seperti biasanya. Akhirnya saya dan teman-teman rombongan yang dari Tuban istirahat di Masjid dekat lokasi tadi, sekitar dua jam lebih istirahat kemudian saya dan teman-teman saya beranjak pergi meninggalkan Desa Menturo, dimana ketika pagi hari saat mau beranjak dari Menturo disambut matahari terlihat yang cerah sekali.

Kembali saya melanjutkan enam jam perjalanan lagi untuk kembali ke tempat kerja saya, tidak ada rasa capek, letih atau ngantuk sekalipun, padahal istirahat hanya dua jam. Tetapi semua itu saya menikmatinya, kalau memang lelah atau mengantuk di jalan pasti saya juga berhenti untuk istirahat, yang terjadi malah sebaliknya tidak ada rasa semua itu tadi. Semangat di perjalanan membuat saya ingin segera sampai tempat kerja saya lagi, sempat sampai di tengah perjalanan diguyur hujan yang begitu lebat lagi melebihi saat saya baru berangkat ke Jombang tadi. Akhirnya saya berhenti tidak untuk berteduh dulu, melainkan memakai jas hujan lalu saya kembali menerjang hujan yang membasahi saat pulang maupun pergi.

Di saat berhenti mengenakan jas hujan, saya teringat apa yang di sampaikan oleh Mbah Nun kepada anak cucunya tadi malam di Menturo. Kita diberi ide, dilatih, diajari kalau hujan turun jangan mencari tempat berteduh, kalau hanya mencari tempat berteduh, ayam juga bisa. Terjanglah hujan itu, tapi jangan sampai masuk angin, syukur-syukur jangan sampai basah. Ngono kui lho jenenge “urip”(itu baru namanya hidup).

Mbah Nun sangat bangga kepada anak cucunya seluruhnya. Sebab mereka sudah membuktikan secara nyata dan penuh keberanian untuk mengubah nasib mereka. Beliau mendoakan semoga Allah tidak menghendaki keburukan apapun atas hidup mereka yang penuh pengorbanan itu.

Bahkan dalam banyak segi, beliau menemukan dan membuktikan dengan mata, telinga, hati, dan akalnya sendiri bahwa berkat keikhlasan hijrah mereka, sejauh ini Allah benar-benar memberikan tempat yang bagus kepada mereka. Seperti yang terkandung dalam ayat Al Qur’an, ” Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui” (An-Nahl:41).

Memang semua yang Mbah Nun berikan kepada anak cucunya selalu menjadi doa buat kita. Kita di harapkan tidak tergesa-gesa memperoleh jawaban atas doa-doa beliau, mungkin sesudah tiga hari, seminggu atau beberapa bulan lagi. Yang terpenting kita sibuk menanam kebaikan saja dulu, jangan terlalu cepat menuai hasilnya. Karena keikhlasan kita terhadap Allah, kemungkinan suatu saat nanti akan di beri melebihi keikhlasan kita kepada Allah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Jepara , 09 November 2017