blank

Reportase Gambang Syafaat edisi Maret 2017 (Bagian Satu)

Sabtu, 25 Maret 2017 Gambang Syafaat (GS) kali ini mengangkat tema ‘Amul Huzni. Tema ini seakan tak biasa, karena biasanya GS mengangkat suatu tema menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa. Namun, kali ini GS menggunakan Bahasa Arab. Ya, seperti biasa di kota-kota besar, suasana malam Minggu sangat ramai. Apakah yang terjadi di luar sana orang-orang mencari kesenangan atau menangisi kesedihan. Merasa ramai di kala sepi atau merasa sepi di kala ramai.

Mukadimah disampaikan oleh Kang Muhajir. Halaman sebelah Masjid Baiturrahman Simpanglima mulai ramai didatangi oleh jamaah yang ingin belajar dikala ramai di luar sana. Acara diawali pembacaan surah Ar-rahman. Kang Muhajir mengatakan, “Saudara-saudara sudah melihat gambar tema, ada yang mau membantu saya menjelaskan gambar tema GS kali ini?”. Kang Dur mulai mencari jamaah yang bisa merespon pertanyaan itu. Ada seseorang yang merespon, namanya Bu Nina dari Semarang. Bu Nina mengatakan bahwa, “Topik ‘Amul Huzni, yang saya tangkap adalah suasana atau kemurungan atau keterpurukan barangkali atau bisa jadi juga kebahagiaan, barangkali. Dalam pandangan yang positif, kalau saya pribadi memahaminya adalah benar-benar tahun kemurungan. Yang tampak indah luar biasa bobroknya, begitupun sebaliknya. Kita harus selalu berpikir positif bahwa pasti ada kebahagiaan yang terpancar bagi bangsa ini. Dan kemudian kita menjadi bagian orang yang sadar dan tersadarkan untuk selalu mengedepankan Tuhan. Intinya Insya Allah malam ini kita dibekali dengan cahaya kebahagiaan. Tetap hari ini dan ke depan negeri ini akan tetap bercahaya, apapun latarbelakang teman-teman tetap libatkan bahwa Tuhan, Yang Maha Besar itu tetap harus ada di hati kita. Itulah yang akan menjadi penguat dan penyelamat”, tutur Bu Nina.

blank

Setelah itu Kang Muhajir menjelaskan bahwa Amul Huzni adalah sebuh peristiwa dimana ketika Nabi Muhammad kehilangan dua orang kekasihnya yakni istri beliau, Siti Khadijah dan paman beliau, Abu Tholib. Maka istilahnya adalah tahun kesedihan. Kemudian Amul Huzni juga digunakan di banyak peristiwa-peristiwa kesedihan dalam peradaban Islam. Misalnya ketika pemerintahan Turki Usmani jatuh, maka itu disebut tahun kemurungan oleh Sastrawan Turki Orhan Pamuk. Pamuk menggambarkan bahwa bangunan-bangunan Turki itu sepi karena kejayaan Turki telah berakhir. Selanjutnya Kang Muhajir menambahkan bahwa, “Kesedihan atau Amul Huzni yang menjadi kesedihan umat Islam itu dibagi menjadi dua yakni pertama, ketika seseorang dia terlelu dekat dengan dunia, dia selalu mencari dunia, tetapi ketika dia kehilangan harta yang sudah dimilikinya, yakni perbendaharaan dunia, ia akan merasa kehilangan. Misalnya seperti memiliki harta, lalu harta itu hilang, maka dia bersedih. Kesedihan yang kedua adalah seseorang merasa tidak dekat dengan Allah. Dia merasakan penderitaan yang amat sangat ketika tidak merasa dekat dengan Allah. Dia merasa selalu kurang dalam melakukan ibadah, dzikir, dan lainnya.”

Sesi selanjutnya akan disambung oleh Kang Ali, Kang Nasir, dan Gus Aniq. Sebelum memasuki sesi pembicaraan, ada penampilan band Biscuittime yang membawakan tiga lagu. Hujan pun merintik dan menemani suasan malam Minggu jamaah Maiyah. Selang beberapa waktu Kang Ali menambahkan prolog bahwa, “Amul Huzni adalah tahun kesedihan bagi Nabi. Kenapa kita selalu merasakan sedih dan senang?” Kang Ali menjelaskan bahwa kesedihan dekat dengan yang namanya harapan. Ketika harapan-harapan yang dipupuk dibenak Anda ternyata berbeda dengan kenyataan. Jadi yang terjadi adalah kesedihan. Ada jarak antara harapan dan kenyataan yang terjadi. Jadi itulah kesedihan. Terus yang senang bagaimana? Jadi senang adalah antara harapan dan kenyataan adalah sesuai. Lalu apakah ada peristiwa yang menyenangkan secara absolut? Sedih dan senang menurut saya adalah penyikapannya. Nah saya akan masuk ke sisi masl uthulu fi silmi kaffah, silmi itu adalah diartikan sebagai berserah diri. Silmi itu sumeleh. Jadi Islam sebagai sifat itu adalah berserah diri, damai, sejahtera, atau tangga untuk naik. Nah, menurut saya kalau misalnya Islam sebagai sikap berserah diri itu menyikapi berserah diri itu bandulnya ada dua di sisi kanan namanya sabar dan sisi kiri namanya syukur. Sabar adalah berpikir positif terhadap kemungkinan.

Microphone berpindah ke tangan Gus Aniq. Gus Aniq menjelaskan bahwa, ‘Amul Huzni jika diartikan secara literer adalah kemurungan, kesedihan. La tahzan innallaha ma’ana (Jangan merasa susah, Allah bersama kita), berkali-kali disebutkan dalam Al Quran. Tetapi dalam konteks ini, dalam dimensi kesedihan itu janjane sedih tenan opo ora? Apa yang kita alami itu benar-benar dalam fenomena kesedihan atau tidak? Situasi yang kita alami saat ini aneh dan konyol. Tadi dipaparkan dalam mukadimah, apakah kesedihan yang menyeluruh atau pribadi? Yang perlu kita pikirkan adalah kesedihan yang menyeluruh tadi”.

blank

Selanjutnya Gus Aniq menjelaskan bahwa ulama dalam Al Quran terbagi menjadi tiga yaitu pertama, innama yakhsallaha min ibadihil ulama’ adalah ulama yang mempunyai potensi ilmu, yang keillmuannya menuntunnya untuk takut pada Allah. Kedua, ulama yang bergelar rabbaniyyin, adalah yu’alimunal kitaba wa bimatum tadrusun, yaitu ualama yang sehari harinya adalah mendaras kitab, belajar terus dan mengajarkan kepada orang lain. Mereka yang disibukkan dengan medaras kitab dan mengajaraknnya. Yang nomor tiga adalah ala dizikri , ulama sebagai konsultan, tempat ditanya orang. Ulama ini memberikan fatwa-fatwa. Lanjut Gus Aniq menjelaskan contoh kasus sowan ke Kyai. Terkadang beberapa orang sowan dengan permasalahan yang sama namun fatwa kepada tiap orang tersebut berbeda, itulah bedanya fatwa (lebih bersifat personil) berbeda dengan hukum yang sifatnya digebrah uyah”. Perlu diketahui bahwa fatwa berasal dari kata fata yang artinya mendewasakan. Menurut Gus Aniq, Amul Huzni adalah ketika ilmu itu dijabut oleh Allah beserta jasad orang yang membawa ilmu itu (ulama). Ulama yang selalu mendewasakan diri agar kita menjadi ahli lubbi, ahli pikir. Sebagai contoh, orang ahli peternakan jika meninggal, penggantinya ada. Tetapi ketika ulama diambil, gantinya susah. Jadi apabila kita menanyakan kesedihan, innama’al usriyusron iku melaku bareng. Jadi kalau ada kesulitan pasti bebarengan dengan adanya kemudahan. Keduanya selalu sejajar.

Setelah Gus Aniq menyudahi pengantarnya, kali ini Kang Nasir yang mengangkat microphone. Kang Nasir meanfsirkan bahwasannya, “Kalau saya menggambarkan ada senang, sedih, bahagia dan lainnya adalah satu garis melingkar. Dan posisi kita ada di tengahnya. Jadi bagaimana kita menyikapi suasana itu, dan suasana itu pasti diciptakan oleh Allah adalah untuk kita. Bahkan kita melihat sesuatu keburukan bukan berarti kita menjadi buruk, begitupun sebaliknya. Semuanya tentunya akan membuat kita lebih kuat, tangguh akan segala sesuatu baik itu kesedihan atau kesenangan. Karena kita semeleh maka kita akan merasa cukup akan pemberian Tuhan yang menjadikan kita kuat dan semangat dalam menjalani hidup”. Dalam syahdunya malam minggu, GS kali ini kedatangan tamu Komunitas Vespa yang ikut bergambung bersama jamaah lainnya. Pun Mas Wakijo bersama rekan barunya Mas Aziz ikut mendendangkan petikan gitar akustik dan gitar melodi serta menyanyikan sholawat Nabi. Setelah itu Mas Ali mempersilahkan Habib Anis dan Om Budi Maryono ikut bergabung dengan jamaah. Mas Ali juga mempersilahkan jemaah bertanya untuk mengawali sesi tanya-jawab.

Makin malam makin ramai, makin rapat, makin hangat. Itulah suasana Maiyah yang selalu dirindukan. Sesi tanya-jawab kemudian direspon oleh Imam Fatkhurohman dari Kaliwungu, Kendal. Sebagai penanya pertama ia ingin bertanya kepada Habib Anis. Pertanyaannya, “Mohon diceritakan tentang Kanjeng Nabi berkaitan dengan tema malam ini?” Penanya kedua ialah Wahmid dari Pekalongan. Pertanyaannya, “Tadi disinggung oleh Gus Aniq, bagi seorang ulama kematian adalah hadiah. Lalu kira-kira bagaimana cara kita atau orang awan seperti kita menganggap kematian bukan hal yang menakutkan?” Habib Anis dan Om Budi Maryono sudah ditunggu wejangan-wejangannya.

Masuk ke dalam sesi jawaban, Habib Anis mulai merespon pertanyaan Imam yakni menceritakan konteks tema Amul Huzni. Habib Anis mengatakan, “Sebelum kita masuk ke konteks itu tampaknya rentang waktu yang begitu panjang yakin 14 abad setelah beliau wafat. Dalam rentang waktu tersebut banyak muncul tafsir-tafsir tentang kejadian tersebut. Kemudian yang harus kita lakukan adalah penyegaran pemaknaan kembali. Orang melihat duka cita itu kesannya gelap, sakit, tidak enak. Tetapi penafsiran itu adalah sebutan ulama (yang hidup pada era tahun duka cita). Ya, karena meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Tholib. Tapi apakah duka cita itu seperti duka cita yang kita pahami dan alami? Bahwa apa yang kita anggap sebagai duka cita sesungguhnya ialah apa yang menyakiti nafsu kita.

blank

Semisal rumah kita kebakaran. Aduh… kita berduka…, motor dicuri orang, aduh…, kita berduka yang kita rasakan kehilangan dan keterputusan. Kita anggap sebagai duka atau balak. Tapi apakah yang demikian yang dialami Rasulullah SAW? tampaknya kita perlu penyegaran kembali dalam konteks sejarah ini. Semua ini terkait innalillahi wa innailaihi raji’un”. Lanjut Habib Anis menjelaskan, “Rasulullah adalah orang yang paling dekat sekali dengan istrinya, Siti Khadijah. Karena sejak awal Khadijah orang pertama, perempuan pertama yang total percaya pada Rasulullah SAW, dengan tindakan, harta benda diberikan untuk mendukung dakwah beliau. Pun juga Khadijah orang yang begitu dekat secara rohani, mensuport secara pribadi. Maka isteri yang demikian adalah istri yang ideal. Maka ketika Khadijah meninggal, ketika itu pasti ada perasaan yang hilang. Tetapi bukan duka cita seperti yang Anda banyangkan. Lalu kedua, Abi Tholib yang merupakan orang yang secara pribadi sangat mendukung Rasul. Lalu setelah Abi Tholib wafat, secara pribadi Rasulullah kehilangan tonggak sosialnya. Karena beliaulah yang selalu melindungi Rasulullah dari gangguan Abu Lahab, Abu Jahal dan lainnya. itu alasan kenapa Rasulullah sangat kehilangan dua tonggak”.

Setelah wafatnya orang-orang terdekat Rasulullah terdapat peristiwa Isra Mi’raj. Namun peristiwa itu bukanlah untuk menghibur Rasulullah. Bukan dihibur dengan isra mi’raj, tetapi Isra Mi’raj adalah langkah lanjut karena sebelum sampai Isra Mi’raj harus dipotong dahulu ikatan dengan dunia yakni istrinya dan pamannya. Yang tidak boleh terlepas adalah ikatan dengan Allah SWT. Barulah Nabi dijalankan Isra Mi’raj itu merupakan pertemuan dengan Allah langsung. Qabba Qosaini, seperti dua busur panah yang bertemu, menjadi lingkaran. Ini proses langsung dan ini pembacaan saya pribadi berkaitan langsung dengan proses berikutnya yakni Isra Mi’raj dan hijrah. Hijrah akar katanya adalah memotong dari ikatan-ikatan yang paling dekat (hajara, hajr). Nah, kalau ketika Rasulullah sudah terpotong (ikatan duniawi) dari Khadijah, langsung secara individual bertemu dengan Allah. Lalu dengan hijrah berarti Rasulullah harus menciptakan ikatan sosial baru di Madinah. Yang satu harus dilampaui untuk menemukan yang lain. Wamaa khalaqtaa hadza bathilaa (Tiada yang engkau ciptakan dengan sia-sia, Maha Suci Allah. (Maulana Malik Ibrahim)