blank

Di dalam benda kotak itu kami anak-anak Maiyah dari Semarang diangkut menuju Jombang, sumur pengetahuan. Kami anak-anak Maiyah harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Berangkat dari Semarang pukul 14.00 WIB (8/7) dan sampai tujuan Menturo Jombang, pukul 22.30 WIB untuk menghadiri Pengajian Maiyah Padhangmbulan “Fuadussab’ah”. Macet terjadi di banyak tempat. Tidak layaklah kami mengeluh, sedangkan teman-teman yang datang menuju Jombang dari penjuru tanah air menempuh perjalanan ratusan kilo meter dengan berbagai moda seperti pesawat, kapal, kereta. Di media sosial kami membaca kabar dari teman dari Lampung, “Alhamdullilah sudah sampai pelabuhan”. Hah dari Lampung naik kapal?

Untuk apa perjalanan itu ditempuh? Pertanyaan ini tidak terpikirkan waktu itu. Kami merasa harus ke sana, mengikuti suasana, duduk mendengarkan dengan takdzim apa yang disampaikan oleh Mbah Nun, Cak Fuad, Mas Sabrang, dan pembicara-pembicara lain.

Akibat yang harus kami bayar karena datang telat adalah tidak sempat menikmati persembahan pementasan dari teman-teman simpul, lingkar Maiyah. Akibatnya lain lagi adalah kami tidak mendapatkan tempat duduk yang nyaman untuk mendengarkan dawuh Mbah Nun dengan tenang. Seluruh tempat praktis penuh. Ketika masuk area majlis, Yai Muzamil sedang menjadi pemandu acara dalam bahasa Arab, pemberian hadiah dari perwakilan simpul kepada Cak Fuad yang ulang tahun ke-70.

Hal pertama yang kami cari setelah mendapatkan tempat duduk adalah mendapatkan majalah Maiyah yang pada edisi ini ada bonus buku karya Cak Fuad. Buku ini penting kami miliki karena banyak titipan dari teman-teman di Semarang yang kebetulan malam hari ini tidak bisa ikut.

Mbah Nun bercerita tentang keluarganya, pola pendidikan keluarganya oleh ibunya. Sikap ibunya terhadap tetangga, dan masyarakat sekitar. “Sejak kecil saya diajak ibu untuk keliling mengunjungi tetangga yang miskin, menanyakan kabarnya, rukuhnya masih baik apa tidak, ada beras untuk dimasak tidak?”

Dari suasana seperti itulah Maiyah dilahirkan. Bukan suasana persaingan pendidikan. “Kami bukan orang-orang yang pandai di sekolah. nilai kami biasa-biasa saja. tidak ada yang menonjol.” Mbah Nun melengkapi. Mbah Nun seperti ingin mengatakan, dari orangtua seperti itulah 15 bersaudara itu lahir. Dari suasana seperti itu pulalah Maiyah tumbuh, semangat berbagi, semangat cinta kepada sesama manusia, paseduluran menjadi ruh Maiyah. “Kok ngalahke wong liya, ngalahke awakke dewe wae ora isa-isa.” (Kok mengalahkan orang lain, mengalahkan diri sendiri saja tidak bisa-bisa kok). Begitu sering diungkapkan oleh Mbah Nun.

Ada pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak-anak itu akan mengikuti leluhurnya. Mas Sabrang menerangkan tentang orang tua (leluhur), kita, dan anak-anak kita. Jadi apa yang kita alami sekarang ini adalah andil dari orang tua juga dan ketika kita melakukan sesuatu pada hari ini juga berakibat pada anak kita kelak. Cak Fuad menambahi, “Jika anakmu berbuat salah maka jangan terlalu kamu marahi karena disana pasti ada andilmu, kamu ingatkan, kasihi, sayangi.” Atas dasar pemahaman inilah mungkin Cak Fuad menemani Cak Nun yang konon pada masa kecil bedanya minta ampun dibanding anak-anak lain. Cak Fuad tidak pernah marah, beliau hanya menyangi penuh kasih. Untuk menyuruh Cak Nun kembali lagi ke sekolah Cak Fuad menggunakan kata kunci membahagiakan ibu. Akhirnya Cak Nun mau lagi ke sekolah, karena jika sekolah untuk menuntut ilmu, bagi Cak Nun itu bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, tetapi karena sekolah untuk membahagiakan ibunya sekolah itu dia lakukan.

Tidak seluruh yang disiramkan oleh Mbah Nun, Mbah Fuad, dan seluruh pembicara mampu kami tampung. Gelas, wadah yang kami bawa teramat kecil untuk dapat menampung seluruh ilmu yang dipancarkan malam itu. Dari banyak itu hanya sedikit yang bisa kami bawa pulang, dan itupun kami harus tetap bersyukur. Kembali ke Semarang. (Muhajir Arrosyid)