blank

Tahun ajaran baru, Kang Gambang sedang mencarikan sekolah untuk anaknya. Ia sedang cemas menentukan sekolah mana yang paling cocok untuk anaknya. Sekolah yang cocok untuk isi kantongnya. Tidak mungkinlah anaknya ia sekolahkan di sekolah elit tetapi dapurnya tidak menyala. Kreteria lain yang dipilih oleh Kang Gambang untuk menentukan sekolah adalah sekolah yang nantinya aman menyelamatkan anaknya dari narkoba, pergaulan bebas, dan yang merusak lainnya.

​Ketika mau menyekolahkan anaknya, timbul beberapa pertanyaan dalam benak Kang Gambang yang pada saatnya akan ditanyakan kepada Kang Syafaat. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah, (1) Apakah sekolah itu? (2) Untuk apakah sekolah itu? (3) Sekolah yang baik itu yang seperti apa? (4) Dimanakah posisi anak dalam model sekolah seperti sekarang ini?

​Kang Gambang mencoba mereka-reka jawaban atas pertanyaan pertama semampu-mampunya. Sekolah adalah tempat belajar. Sebuah tempat yang dikondisikan sedemikian rupa aga anak nyaman dan aman dalam belajar. Sedangkan belajar adalah proses dimana nantinya terjadi perubahan dalam diri anak yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mampu menjadi mampu, yang tadinya tidak sopan menjadi sopan. Yang jadi masalah bagi Kang Gambang adalah, yang diajarkan di sekolah itu aneh-aneh. Anak petani tidak diajari bertani, anak nelayan tidak diajari menangkap ikan. Akibatnya anak-anak ini menjadi anak-anak yang jauh dan menjahui lingkungannya. Bukankah tujuan pendidikan tidak menjauhkan anak terhadap lingkunganya?

​“Sakjane, untuk apakah sekolah itu?” Pertanyaan itu pernah dia lemparkan kepada Kang Syafaat. Dan Kang Syafaat malah tertawa, merasa aneh dengan Pertanyaan Kang Gambang. Katanya “Pertanyaanmu aneh. Kan ya sewajarnya anak-anak sekolah. Biar pinter, biar punya ilmu banyak, generasi unggul, dan menjawab tantangan zaman. Semua kantor-kantor mempersyaratkan ijazah untuk calon-calon pegawainya.” Jawab Kang Syafaat.

​Jawaban Kang Syafaat itu ia renungi. Jadi sekolah itu untuk memenuhi kewajaran di masyarakat umum karena jika ada anak-anak tidak sekolah itu adalah anak-anak yang tidak wajar, orang tuanya juga tidak wajar. Tidak wajar itu misalnya sinting, kere, dan keanehan yang lain. Dalam konteks ini sekolah sama dengan belajar, anak yang tidak sekolah diartikan sama dengan anak yang tidak belajar. Kata Kang Syafaat, sekolah agar punya banyak ilmu. Ya memang sekolah diajarkan ilmu-ilmu, tetapi sebelum dulu ada sekolah banyak lho orang yang sudah berilmu. Ilmuwan-ilmuwan lahir sebelum ada sekolah.

​Yang paling menohok sebenarnya jawaban terakhir dari Kang Syafaat, katanya kantor-kantor mensyaratkan ijazah untuk calon pegawainya. Jadi jika anak-anaknya tidak ingin menjadi pegawai berarti tidak perlu sekolah? Sedangkan untuk menjadi bos tidak mensyaratkan ijazah apapun.

​Untuk menjadi generasi unggul, unggul atas apa? Unggul atas siapa? Sekolah hadir untuk mendidik anak-anak yang unggul dan saling mengguguli, menciptakan daya saing, untuk menjadi manusia yang lebih unggul dibanding manusia yang lain. Jadi secara eksplisit tujuan sekolah adalah untuk mengalahkan orang lain dan dapat berpotensi untuk merendahkan dan meremehkan orang lain.

​Sekolah yang baik itu sekolah yang seperti apa? Itu pertanyaan yang juga diajukan Kang Gambang kepada Kang Syafaat. Apakah sekolah yang berseragam, disiplin tinggi, fasilitas lengkap, gedung bagus? Sekolah yang begini biasanya mahal dan Kang Syafaat tidak mampu untuk memenuhinya. Yang diharapkan oleh Kang Gambang terhadap sekolah sebenarnya tidak muluk-muluk. Sekarang ini eranya informasi, Kang Gambang hanya ingin anaknya selamat dari informasi yang ngawur, selamat akhlaqnya, aman akidahnya, aman akal dan jalan pikirannya, aman fisiknya dari penculikan dan narkoba. Dimanakah sekolah yang demikian?

​Sedangkan yang ia lihat sekarang ini sekolah menjadi perebutan kepentingan antar institusi, orang tua. Orangtua menyekolahkan anaknya, mendorong anaknya berprestasi agar bisa menepuk dada dipamerkan kepada teman-teman arisannya. Anak-anak harus berprestasi demi citra sekolah, citra departemen pendidikan, citra bupati, walikota, bahwa semenjak dia menjabat kualitas pendidikan meningkat. Citra ini bisa ia jual saat kampanye di pemilu berikutnya, meskipun segala upaya harus dilakukan termasuk memberi bocoran saat ujian, dan segala upaya lain.

​Terus dimanakah posisi anak di dalam sengkurat dunia pendidikan itu? Anak idealnya adalah sebagai tujuan final pendidikan. Semua kebijakan bermuara kepada kepentingan anak. Gedung disediakan untuk anak, kurikulum, fasilitas, semua berorientasi pada anak. Tetapi pada kenyataannya anak malah menjadi korban, ia hanya menjadi dalih atas kepntingan politik, nafsu mengeruk uang. Sialnya hal itu dianggap wajar, dan yang menempatkan anak sebagai satu-satunya kepentingan diselenggarakan sekolah dianggap tidak waras, aneh, dan sinting. (redaksi/hjr)