blank

Jika Majlis Ilmu Gambang Syafaat (GS) edisi 25 Januari 2017 ini kita ibaratkan sebuah pelayaran maka sebuah tema adalah perahu. Tema GS pada malam hari itu adalah “Ojo Nandur Aku”. Perahu ini membantu kita untuk menghampiri teluk-teluk pengetahuan dan segala kemungkinan ilmu yang tidak terduga sebelumnya.

Pada malam yang hujan itu, acara dihangatkan dengan penampilan Rebana Tanbihun As-salafi, Musikalisasi Gestuara, dan Musiknya Wakijo. Hadir untuk membantu mengudar tema di sesi awal adalah Mas Agus dari Majelis Gugur Gunung Ungaran, Mas Rudd Blora, Gus Aniq. Juga hadir untuk lebih mendalami tema dan merespon jamaah, Pak Ilyas, Habib Anis Sholeh Baasyin, dan Mas Sabrang Mowo Panuluh.

Tema “Ojo Nandur Aku” ini diangkat dari titik berangkat akhir-akhir ini banyak orang yang lebih menonjolkan keakuannya. Semua dilakukan untuk kebesaran aksistensi dirinya hingga tidak memberi ruang untuk orang lain. Jebakan keakuan itu mengakibatkan perilaku mengutamakan nafsu sehingga timbul korupsi dan penyakit sosial lainnya.

Foto : Eka

Mas Agus mengurai dari pendefinisan kata aku. Menurutnya pencarian manusia sejatinya adalah pencarian aku. Tetapi bukan aku yang kecil tetapi aku yang sejati. Aku yang sejati adalah Allah subhanahuwataalla. Untuk menemukan aku yang sejati itu kita harus terlebih dahulu mengenali aku yang kecil yaitu manusia. Kemudian Mas Agus mengurai kata nandur. Nandur dari kata tandur, tan artinya tidak dan dur artinya goroh atau bohong, contoh nama yang menggunakan dur adalah durhoko, dursusilo. Maka tidak heren jika banyak nama-nama Kurawa yang menggunakan nama dur, contoh duryudono. Maka arti nandur adalah tidak bohong. Konsep dasar petani adalah hanya mau menanam yang baik-baik.

Cak Rudd menambah khasanah kita tentang makna keakuan. Ia mengajak berpikir siapakah aku itu? Apakah tangan kita, apakah tubuh kita, apa nyawa kita. Aku tidak mungkin ada jika aku yang lain tidak mengakui keberadaannya. Menurut Cak Rudd di dalam Islam aku tetap harus ada. Yang meniadakan aku itu komunisme dan yang mengagungkan aku itu kapitalisme dan Islam ada di tengah-tengah. Dalam Islam kepemilikan tetap dibolehkan tetapi dengan kesadaran bahwa kepemilikan itu adalah titipan dari Allah untuk digunakan merahmati lingkungan.

Cak Rudd dan komunitas taninya mengartikan kata tandur dari sebuah ayat “Ya ayyuhalladzina amanu taqulloha Wal tandur Nafsum ma qoddamat Lighod” hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok. Hal ini senada dengan yang juga tertera dalam mukhadimah GS edisi ini yaitu Nandur Ning Poso. “Konsep bertani kami adalah nadur ning poso. Misalnya saja kami punya tanah satu hektar, harusnya itu bisa dioptimalkan mendapatkan panenan tujuh sampai delapan ton jika kami mau menggunakan pupuk nonorganik dan obat-obatan antihama berbahan kimia. Tetapi kami poso dan ikhlas hanya mendapatkan panenan sekitar lima ton karena kami melihat yang akan terjadi ke depan jika kami memaksakan untuk menggunakan obat-obatan itu. Tanah akan rusak dan segala akibat buruk lainnya akan membahayakan anak cucu ke depan.” Tutur Cak Rudd.

Sementara itu Gus Aniq menambahkan bahwa aku ada yang bersifat personalitas dan ada yang bersifat identitas. Tentang nama, tubuh, keinginan itu adalah aku yang bersifat identitas, dan aku yang personalitas itu berkait dengan aku yang sejati yaitu Allah. Sesungguhnya kita hidup itu tidak punya apa-apa, sebab apa yang kita miliki tidak selamanya, bahkan kita sendiri hidup cuma sebentar. Proses menghilangkan aku-aku yang tidak sejati itu dinamakan tanzih. Tidak mudah memang untuk mengerti aku yang sejati. Bisa jadi itu berdimensi ruhiah, yang dalam khasanah jawa, ada di alam amr. Nabi sendiri ketika di tanya perihal ruh, Allah sudah memberi garis bahwa, masalah ruh itu manusia diberi sedikit saja pengetahuan.

Kang Ali Fatkhan ikut urun pendapat pada malam itu. Ia mengurai tentang perbuatan baik. Ada perbuatan baik sebagai aksi dan perbuatan baik sebagai reaksi. Perbuatan baik sebagai reaksi itu lebih mudah dari pada perbuatan baik sebagai aksi. Kaitanya dengan “Ojo Nandur aku”, kemudian yang ditandur itu apa? Kang Ali berpendapat bahwa yang ditandur adalah kebaikan. Kebaikan sebagai aksi itu lebih susah dilakukan dari pada kebaikan sebagai reaksi. Kadang-kadang kebaikan sebagai aksi itu tidak mengunduh. Karena ibarat sebuah tanah ada tanah yang subur dan ada tanah yang tidak subur. Aksi kita jika bertemu pada tanah yang subur maka akan mendapatkan reaksi yang baik pula. Tapi permintahnya adalah amal sholeh, berbuat baik tanpa peduli pada tanah yang bagaimana.

Sebelum sesi kedua, dan memberikan kesempatan bertanya kepada jamaah, Rebana Tanbihun As Salafi mendendangkan sebuah lagu sholawat. Disusul kemudian oleh penampilan musikalisasi puisi oleh Gestuara.

Foto : Eka

Mas Sabrang sebelum membahas tentang tema ‘aku’ terlebih dahulu menjawab pertanyaan dari jamaah tentang aturan dari manusia dengan aturan dari Allah. Jamaah itu tukang becak, sekarang dia tidak boleh mangkal di tempatnya yang biasa dia gunakan mangkal, sekarang ia tetap mangkal tetapi mencuri-curi, terus bagaimana hukumnya?

Atas pertanyaan itu Mas Sabrang berlogika, jika mencari nafkah untuk anak isteri itu adalah ibadah perintah Allah, sedangkan aturuan larangan mangkal di suatu tampat itu adalah aturan yang dibuat oleh manusia. Tinggi mana aturan yang dimuat oleh Allah dengan aturan yang dimuat oleh manusia? Kita mematuhi aturan yang dibuat manusia dalam rangka shodaqoh dalam rangka terselenggaranya kenyamanan hidup bersama. Melanggar aturan Allah dan aturan manusia masing-masing ada konsekuensinya. Dan konsekuensi tersebut harus kita tanggung.

Mas Sabrang menambahkan, bahwa memang dunia tidak adil tetapi adanya gesekan dan permasalahan itu nantinya akan jadi kapal kita menuju keadilan yang sejati. “Semua orang bisa merasa tertindas, bahkan presiden bisa merasa tertindas oleh demo-demo, yang demo juga merasa tertindas, dan lain sebagainya. Semua orang bisa merasa tertindas yang membedakan adalah bagaimana ketertindasan itu bisa membuat kita lebih dewasa dan lebih dekat kepada Allah. “ jelas Mas Sabrang.

Pada kesempatan itu Mas Sabrang juga berkesempatan membahas tentang tema “Ojo Nandur Aku.” Menurutnya tema ini belum lengkap, “Ojo nandur aku, nandur karo sopo? Jika kita tidak nandur aku ke anak atau isteri, kita tidak memiliki tanggungwawab kepada mereka.” Jelas Mas Sabrang.

Aku tetap penting. Mas Sabrang memberi contoh dalam perjalanan menuju selat kita membutuhkan kapal dan tidak bisa dengan jalan lain, bukankah kita tetap boleh menganggap jika kapal itu penting? Dalam sebuah perjalanan kadang-kadang aku penting, karena kamu baru bisa ngomong kita kalau kamu bisa ngomong aku. Itu adalah langkah dari sebuah perjalanan. Ketiadaan aku bukanlah jalan yang perlu ditandurke menurut Mas Sabrang. Kesadaran jika aku itu tidak penting akan tumbuh sendiri pada saatnya. Jika kita sudah sampai ke selat maka akan tumbuh kesadaran bahwa perahu tidak penting.

Jadi aku itu tumbuh. Ketika masih kecil aku adalah aku dan kesenanganku, kemudian remaja jatuh cinta pada lawan jenis kita menyatakan cinta kepada lawan jenis, itu adalah bentuk cinta kita terhadap diri kita sendiri tetapi kita membutuhkan orang lain, melalui orang lain. Ketika kita punya anak dan anak kita dipukul kita ikut merasa sakit, itu artinya ada aku dalam anak kita, dan aku semakin tumbuh ke lingkungan, ke semua, ke bebrayan agung, hingga ke Allah taalla. Perjalanan aku adalah proses menuju Aku.

Sedangkan Pak Ilyas menambah khasanah yang lain tentang ‘aku’ dan keakuan. Ia menerjemahkan aku sebagai kesomobongan dan kasekten. Dalam nilai-nilai Jawa tingkatan kasta tertinggi adalah Brahmana dimana kekauannya sudah pupus, ia sudah meremehkan dunia. Selama ini apa-apa dipuncaki dengan tujuan materi, misalnya pendidikan juga untuk meraih materi, ketika gubernur membangun sesuatu dan berhasil maka itu ia akui sebagai karyanya dan menyatakan dirinya sebagai faktor.

Pak Ilyas memberi contoh tentang proses jadinya sebuah baju hingga bisa digunakan. Baju hingga menjadi baju dimulai dari petani yang nananam kapas, kemudian diubah menjadi benang, kemudian menjadi kain kasar, baru diwarnai, dijahid, baru dikenakan. Siapa yang paling menonjol dari proses itu? Apakah petani, pemintal benang, penjahit, apa siapa? Harusnya kita memiliki kesadaran bahwa semua menjadi faktor tetapi tidak ada yang boleh menonjolkan diri. Demikian juga jamaah maiyah ini, bukan yang di depan ini yang menjadi faktor, “Nak sing ning ngarep iki ngomong ning ora ono sing ngerungokke piye?”

Setelah Pak Ilyas, diberi kesempatan kepada Mas Agung dari kelompok seniman difabel dari johar, berkolaborasi dengan Musik Gestuara menyanyikan dua nomor lagu, Panggung Sandiwara dan Allah Maha Sempurna

Habib Anis Sholeh Baasyin menerangkan aku dari dua sudut, bisa dilihat sebagai egosentrisme seperti yang diterangkan oleh pak Ilyas dan ‘aku’ sebagaimana yang diterangkan oleh Mas Sabrang bahwa keakuan itu tumbuh membesar.

Keakuan atas dasar egoisme itu bisa disetting sebagaimana khasanah Jawa yang mengatakan “benere dewe benere wong akeh” bahwa kebenaran kebanyakan orang itu bisa di setting sesuai dengan kehendak kita dengan berbagai cara, dengan berita hoax, dengan iklan, informasi yang gencarkan secara masif. Dan kita harus mencari kebenaran yang sejati. Kita harus menyingkap hijab dari kebenaran settingan itu.

Sedangkan keakuan dari sudut yang lain adalah subjek utama. Dalam segitiga cinta yang beberapa kali dibicarakan ada Allah, Rosullilah, dan ada insan (aku), dan aku sebagaimana diterangkan oleh Mas Sabrang terus membesar sebagai mana Nabi Muhammad dalah insan kamil, insan semesta.

Habib Anis bercerita tentang seorang sufi bernama Abu Yazid Al Bistami, sang sufi suatu saat ditanya berapa umurnya dan menjawab bahwa dirinya baru berumur dua tahun. Yang tanya kaget kerena pada kenyataannya secara fisik sang sufi sudah tua. Dan Sang Sufi meneruskan bahwa ia baru dua tahun mengenal dirinya. Aku adalah rahasia Allah yang susah didefinisikan. Aku sebagai ego hanyalah label-label, baju-baju saja.

Menjawab pertanyaan jamaah tentang Amal Makruf dan Nahi Mungkar kepada para elit, Habib Anis menjawab dengan terlebih dahulu menerangkan tentang kata makruf dan mungkar. Makruf itu artinya kebiasaan. Jika biasanya dipukul itu sakit ya jangan memukul. Dalam era makruf itu sekarang terwujud di dalam aturan dan digunakan oleh pihak-pihak tertentu justru untuk menguasai. Contoh khasus soal bendera yang diberi lafal Arab, jika memang aturannya tidak boleh menulis di atas bendera harusnya dikenakan kepada semuanya tidak hanya kepada anak itu. Sebelumnya bendera yang ditulisi begitu sudah banyak dan tidak pernah ditindak.

Menganggapi pertanyaan tentang amal Makruf nahi mungkar, Mas Sabrang menjawab bahwa masalah di Indonesia saat ini adalah karena semuanya merasa menjadi primer, merasa yang paling penting dan menjadi faktor. Banyak merasa yang dirinya yang paling tahu dan merasa yang paling bisa membereskan Indonesia. Maka banyak tuntutan saling menyalahkan, itu salah, itu salah dan sebangainya. Padahal untuk menegakkan kebenaran itu terkait dengan pengetahuan yang kita miliki. Untuk mempermudah pemahaman, Mas Sabrang menceritakan kisah Negara Prusia, di Prusia ada tokoh namanya Bismarck. Prusia dijajah oleh Austria, sebuah Negara yang lebih kecil. Orang-orang Prusia menghendaki perang tetapi Bismarck melarangnya. Bismarck berpidato kepada rakyat untuk tidak perang dengan puji-puji terhadap Austria. Tetapi ketika Bismarck menjadi perdana menteri, dia membangun tentara perang yang kokoh dan setelah tentara perangnya kuat dan cukup untuk mengalahkan Austria, ia memimpin peperangan kepada Austria. Belajar dari ini, untuk amal makruf dan nahi mungkar, untuk perang kita harus memiliki srategi kapan perang dan pasti menang, kalau tidak ada kemungkinan menang jangan perang dulu. Di Indonesia ini banyak yang punya niat baik tetapi tidak punya strategi kalah dengan yang punya niat buruk dan sedikit tetapi punya strategi.

Mas Sabrang juga menceritakan tentang Madinah, mengapa madinah menjadi magnet yang luar biasa? Karena nabi telah membuktikan bahwa sistem pemerintahan Islam mampu dan sukses membesarkan Madinah. Demikian juga dengan kita, harus membuktikan dulu, praktik dulu ke dalam dengan aksi tidak hanya bicara baru orang luar percaya.

Tentang ‘aku’, Mas Sabrang menambahi pemahaman dengan satu kalimat apik: siapa yang mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya”. Manusia dengan kejadian-kejadian yang menghinggapinya dalam proses pencarian, ketika dia mencari maka yang ia dapatkan adalah pengetahuan tetapi pada titik tertentu ia mendapatkan kesadaran. Ada rentang antara pengetahuan akal dengan kesadaran. Pengetahuan menjadi kesadaran setelah proses mengalami. Mas Sabrang memberikan gambaran pencarian aku dengan mengibaratkan wayang. Wayang dengan segala pernak perniknya, bisa menjadi gambaran betapa pengetahuan orang tentang wayang mengalami perkembangan, ada yang hanya terpaku pada bayangannya, ada yang paham bahwa ada wayang, kemudian mengerti bahwa dalang lah yang menggerakkan wayang, tidak saja dalang, harus ada cahaya.

Foto : Eka

Jamaah diberikan kesempatan untuk merespon apa yang telah dibabarkan oleh narasumber, Wakijo memberikan hidangan istimewa dengan menyanyikan dua nomor lagu di malam yang mulai sunyi, lagu berjudul keseimbangan dan sholawat tresno.

Ada seorang jamaah yang bertanya tentang guru yang baik pernah menjadi murid yang baik. Merespon pertanyaan itu Mas Sabrang menerangkan hubungan antara murid dan guru. “Saya tidak percaya ada guru yang bisa mengajari murid. Jika memang guru bisa mengajari murid maka kepintaran murid masti sama. Pada kenyataannya kan tidak sama. Maka menurut saya yang benar adalah guru memberi kesempatan kepada murid untuk belajar.” Jelas Mas Sabrang. Setiap murid menggali dari dirinya dan dari gurunya, maka dari itu murid mempunyai kemampuan yang tidak merata.

Dia menambahkan bahwa murid yang baik adalah murid yang mampu menyerap ilmu dari gurunya sebanyak mungkin. Mungkin murid itu Mbeling tetapi mampu menyerap ilmu dari gurunya. Contoh yang absud adalah kisah Sunan Kalijaga yang berguru dari Sunan Bonang. Sunan Kalijaga tidak diajari apa-apa, hanya disuruh menunggu tongkat, tetapi ternyata Sunan Kalijaga mampu menyerap ilmu dengan metode belajar semacam itu. Memang ada prasyarat lain misal kerindhoaan guru dan kesopanan murid agar proses penyerapan ilmu itu lebih mudah.

Contoh lain, Bambang Ekoloyo yang tidak pernah diajari secara windanu oleh Durno, hanya bisa mengintip-intip saja tetapi dia sebagai murid lebih sukses dibanding dengan murid yang diajar langsung Arjuno.

Selanjutnya, guru yang pernah menjadi murid yang baik berpotensi menjadi guru yang baik. Yang guru lakukan bukan mengajari tetapi memberi kesempatan kepada murid untuk mengambil ilmu darinya. Metode guru dalam mengajari murid itu berbeda-beda. Guru yang baik adalah guru yang mengenali muridnya sehingga metodenya berbeda. Ada guru yang setiap hari hanya menyuruh muridnya untuk mengosek WC. Ada guru lagi yang cara mengajarnya membikin muridnya sock (kaget), itu dilakukan untuk membuka bendungan dalam dirinya, semacam loncatan kesadaran. Contoh mudah melihat hal itu adalah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Nabi Khidir kepada Nabi Musa tidak hanya memberi pengetahuan tetapi juga kesadaran. Mas Sabrang menceritakan metode dia mengajai anaknya, Aku memberi pelajaran pada anak saja tentang sebab akibat. Suatu ketika dia mainan raket listrik, saya beritahu kalau itu berbahaya dia tidak percaya. Kemudian aku strumkan itu dengan pertimbangan dia akan tahu rasanya tersetrum tetapi tidak membahayakannya. Disitu saya menanamkan pemahaman dan nantinya dia akan memberi bobot pada omonganku.” Begitu kata Mas Sabrang.

Dengan tahu sebab akibat maka tahab selanjutnya murid atau anak akan dapat mendesain sebab akibat. Meskipun ada titik tertentu sebab akibat tidak digunakan contohnya seperti iman tidak membutuhkan sebab akibat.

Menjawab pertanyaan sejarah nusantara yang berulang, Mas Sabrang Menjawab bahwa memang sejarah berulang tetapi bentuknya berbeda. Misalnya jika dulu peperangan menggunakan pedang, kemudian di era berikutnya menggunakan pistol dan laras panjang, bom atum, era sekarang peperangan tidak menggunakan senjata. Perang fisik yang keluar darah badannya, perang pemahaman/pikiran yang diserang adalah otaknya, dan yang selanjutnya yang berdarah adalah mentalnya, yakni perang kesadaran/ pihak yang berperang berlomba menanamkan motif.

Apa yang perlu kita lakukan adalah melakukan hipotesis. Bukan kemudian menyalahkan hipotesis orang lain. Nanti akan terjadi evolusi, hipotesis yang benar yang akan bertahan. Jika hipotesis kita salah pun jangan merasa tidak berguna karena itu dapat digunakan sebagai pembelajaran pada generasi yang akan datang agar tidak mengambil langkah kita. Di maiyah kita sedang menyambung kegembiraan kumpul, persaudaraan hal-hal lain seperti ekonomi, militer itu akan tergarap setelah persaudaraan itu kuat. Sabar, karena ini adalah rakaat panjang.

Habib Anis menambah penjelasan tentang aku. Ketika manusia melakukan sholat sebenarnya dia sedang mengambil jarak dengan Allah. Sedangkan di luar sholat manusia sebenarnya sedang jumbuh dan menyatu, pengejawantahan dengan Allah. Sholat itu menyadari ada yang menyembah dan ada yang disembah. Ketika sholat justru kita menyadari saya bukan dia. Sholat itu bukan menyatu dengan Allah justru menyadari kemahklukkan kita, kehambaan kita di hadapan kholik kita.

Sedangkan masalah perang, Habib Anis menerangkan bahwa ada momentum-momentum tertentu sesuatu dilakukan atau nanti bukan berdasarkan pertimbangan kalah menang. Ketika Madinah sudah kuat dan para sahabat merasa sudah siap perang malah Nabi melarang. Nabi mengatakan, nanti dulu belum ada perintah dari Allah. Perintah dari Allah itu gelombang. Jadi perang dan tidak perang itu bukan hanya masalah kesiapan. Bukan karena sudah merasa kuat benturan secara fisik kita boleh perang, ada dimensi  perhitungan non bumi.

Misalnya saja perjanjian hudaibiyah dimana orang muslim sudah merasa menang tetapi Nabi malah melakukan sebuah perjanjian yang seolah-olah kalah. Baru kemudian orang muslim menyadari kalau hudaibiyah adalah pintu masuk untuk kemenangan ummat Islam di Makkah. Hal ini di luar skenario strategi biasa. Ummat Islam harus mampu berperang seperti ini. Karena ummat Islam harus adil di hadapan seluruh manusia. Nabi selalu mengingatkan untuk adil kepada mata kita, tubuh kita, istri, dan anak kita, hingga adil kepada yang lebih luas. Dan seseorang bisa adil jika dia sudah mampu mengalahkan aku kecilnya untuk aku besarnya yaitu aku bapak, aku anggota masyarakat, dan aku aku yang lebih besar lainnya.

Dunia modern saat ini adalah dunia yang mengandalkan pengetahuan tetapi pengetahuan wadag. Padahal hebatnya pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan nasibnya di akherat. Dimensi non wadag jarang/tidak disentuh oleh orang modern, di dimensi tersebut menggunakan bahasa simbolik sehingga tidak semua orang memahaminya. Sesekali Allah memperlihatkan mukjizat sebagai kejutan/ shock therapy karena manusia sering lupa terhadap hal-hal yang biasa, diperlukan hal-hal yang luar biasa sebagai pintu untuk kembali melakukan permenungan. Acara dipuncaki dengan shohibul baiti. (Redaksi – MA)