blank

Sudah jam dua pagi, Kang Hajir langsung membuka tanya jawab. Pertanyaan pertama dari Pak Sugiono masinis becak di sekitar masjid Baiturrahman: “Apakah betul belanja itu sudah disebut shodaqoh atau harus ditambah dengan niat lain?”

Pertanyaan berikutnya oleh Mohammad Adiatma dari Polines tentang cara menanggapi perdebatan dalam perbedaan yang berakibat perpecahan.

Sebelum pertanyaan direspon, Kang Hajir mempersilakah Cak Nug untuk berpuisi. Tanpa menunggu Cak Nug langsung berdiri mengangkat stand mic dan merogoh lipatan-lipatan kertas dari sakunya. Tiga puisi yang dibacakan; “Budidaya Kebersamaan”, “Berbeda Pasti Bisa”, dan “Berlari ke Maiyah”.

Gus Aniq merespon pertanyaan pertama, bahwa infaq adalah satu perlakuan untuk tidak menyimpan aset yang berlebihan. Allah itu memerintahkan untuk tidak menyimpan harta yang berlebihan. Kita menyimpan uang banyak itu untuk apa? Ada orang yang butuh. Kalau kita tinggal memberi kepada orang (dengan niat shodaqoh) titik itu shodaqoh. Kalau infaq itu ada wujud barang, kita membeli karena ada perlu, intinya untuk tidak menyimpan kelebihan aset kita. Gus Aniq mencontohkan kalau memberi uang saku ke anaknya disuruh menghabiskan. Misalkan ada penjual gorengan, disuruh beli gorengan, karena penjual butuh mengelola lagi misal beli minyak, penjual minyak butuh beras, dst. Dalam infaq pasti sudah ada shodaqoh, tanpa diniati shodaqoh otomatis sudah masuk. Misal kita membeli orang seratus rupiah ke seseorang pasti yang diberi akan merasa terlecehkan, berbeda kalau membeli barang dagangannya (sama-sama untung seratus rupiah), tidak ada unsur pelecehan karena dia senang barangnya laku. Inilah jalan infaq.

Sebelum pertanyaan kedua direspon, Kang Hajir mengumumkan bahwa ada jamaah menitipkan sovenir bagi yang bertanya. Pertanyaan kedua direspon pertama oleh Pak Ilyas, bahwa hidup itu jangan rebutan benar, pasti geger. Pak Ilyas bertanya ke jamaah: “yahmene ki enake ngombe opo?” jamaah merespon ada yang ronde, ada yang kopi, congyang, ciu, dsb. Pak Ilyas merespon silakan jamaah berkelahi berebut kebenaran apa yang enak minum saat ini. Jadi, kebenaran itu tidak untuk diperdebatkan, jangan pergi membawa kebenaran tapi bawalah cinta dan kasih sayang. Mengapa orang berkelahi itu karena berebut kebenaran? Kebenaran itu hanya milik Allah, manusia itu kebenarannya relatif (menurutnya sendiri). Pak Ilyas mencontohkan lagi, kalau berdebat misal A itu halal itu halal atau haram? Misal lawanya menjawab halal, ya sudah halal, menjawab makruh, ya sudah makruh, apa yang dijawab di-iya-ni saja, beres. Contoh lagi: misal ada orang Islam ceramah didepan orang katholik, “inna diina indallahil islam” – tau ndak agama yang benar itu Islam? Lalu yang katholik menjawab: lalu yang selain Islam bukan agama? Dijawab lagi yang Islam: bukan, dongeng itu. Kalau seperti itu kirakira berkelahi tidak? Kebenaran itu relatif, termasuk tafsir pun relatif. Hidup itu tentang ‘empan papan’ saja. Misal: salat itu baik tapi kalau salat di tengah jalan jadi geger, dzikir wiridan itu baik tapi kalau tetangga kerja bakti kita wiridan jadi geger. Kebenaran itu ada tempatnya.

Pertanyaan kedua juga direspon mas Agus. Menurutnya, agama itu salah satu cara membuat kita lebih profesional menghadapi hidup. Kalau kita tidak ingin bertemu dengan perdebatan tinggal kita pandang yang paling tepat menurut kita. Karena nanti kalau tidak tepat pasti akan diluruskan sesuai dengan perkembangan secara natural. Jadi tidak perlu memasuki wilayah perdebatan. Orang yang senang gitar nanti akan dipertemukan dengan orang-orang yang senang gitar, orang yang senang baca nanti akan ketemu dengan yang senang baca. Orang yang ketemu di wilayah musik nanti akan bisa bikin orkestra, orang yang ketemu di wilayah baca akan bisa bikin bedah buku, literasi dsb. Semua itu sudah diatur perhimpunannya oleh Allah. Jadi kalau kita tidak mau masuk dalam wilayah perdebatan, pilihan kita tidak perlu berdebat, pilihan kita tinggal melaksanakan apa yang kita tangkap dari langit dengan ilmu, dengan kearifan (ta’rif), dengan pemahaman (tafhim), nanti bisa menjadi adab yang baik, kita bisa memunculkan adab-adab, kita bisa menjadi ta’dib. Adab kita menjadi baik, dan itu tidak perlu diproklamirkan bahwa kita sudah baik. Karena kebaikan ini hanya proses menterjemahkan tetesan dari langit itu di dalam mekanisme sosial.

Kalau ada hujan turun dari langit, cara mengembalikan rasa syukur kita tidak terus mengembalikan air itu ke langit. Tapi dari air hujan itu tumbuh apa, kemudian bermanfaat tidak bagi kehidupan. Jadi anjuran mas Agus, kalau misal kita sudah punya cara pandang yang cukup baik, pegang, cukup. Bahwa itu masih belum benar nanti pasti akan dibenarkan Allah. Allah itu maha, kita itu letaknya salah, letaknya tidak tahu. Jadi kalau kita benar-benar menghendaki, posisi kita muridan, kita terus menghendaki kebenaran itu pasti akan ditetesi Allah terus, setahap demi setahap.

Kita saja melakukan perkembangan di dalam hidup tidak langsung benar. Lahir jadi bayi ya paling benar buang air besar di kasur. Kalau lahir terus berjalan sendiri ke toilet untuk buang air besar malah orang ‘gumun kabeh’, juga takut. Karena ada proses natural, makanya kita menghormati. Kalau ada orang masih senang ‘eek’ di kasur ya anggap saja itu masih bayi, ngapain ngejak debat bayi? Kita tinggal pilih masih perlu banyak belajar sehingga tidak perlu membelajari orang lain ketika memang orang itu tidak mau mempelajari apapun. Jadi tinggal kita menjawab ketika ada pertanyaan dan tidak perlu menjawab apapun ketika tidak ada pertanyaan.

Om Budi menyambung memungkasi respon pertanyaan kedua dengan lirik “syi’ir tanpa watan”. Sinau serius, kelihatanya serius tanpa hakikat, itu nanti belakangnya malah ‘gelo’, bisa-bisa sampai akhirat ‘plongaplongo’, “lho kok salah semua?”. Karena yang dia lakukan, yang diyakini itu bisa luput semua kalau tanpa hakikat. Mempelajari semua ilmu itu baik, tapi hakikatnya juga harus, karena hidup ini ada serta-merta tikungan yang bukan main. Dalam hidup ini selalu ada belokan yang tidak tampak di peta rencana kita. Itu lah perlunya hakikat.

Om Budi mengulang cerita takzizah ke Blitar, bahwa yang meninggal itu lima menit setelah kirim WA. Maka sesungguhnya kita tidak punya pilihan selain menjadi orang baik, umur berapa pun. Ini kalau tidak di hakikat tidak bisa sampai di situ. Sehingga harus menerangkan kepada yang sedih-sedih itu, ketika kita gagal, ketika kita merasa doa kita tidak terkabul, ketika kita merasa harapan kita, rencana kita tidak terwujud, saat itulah kita harus besyukur berlipat-lipat karena kita ketemu Tuhan yang keren karena kita tidak bisa perintah, Dia melakukan diriNya sendiri. Kalau kita meminta semua dituruti berarti kita yang tuhan, Dia pesuruh kita.

Kalau memasuki hakikat, orang tidak akan memasuki debat yang tidak perlu. Ulama-ulama kita terdahulu Imam madzab: Hambali, Syafi’i, Maliki, Hanafi mereka semua berbeda tapi rukun, tapi kita yang mengikuti malah bertengkar. Berarti kita ikut siapa? Dan semua Nabi tidak pernah merasa atau menyatakan dirinya suci, kalau kita menyatakan diri kita suci dan yang lain tidak maka kita sedang meneladani siapa?

Kang Jion memberi simpulan kecil bahwa lakon “Semar Mbangun Kahyangan” itu bukan membangun kerajaan, tapi dimaknai secara rohani adalah membangun jiwa-jiwa manusia itu sendiri agar menjadi lebih baik. Pak Ilyas menambahi bahwa lakon tersebut yang dimaksud adalah agar bangsa ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur’, karena kalau ‘gemah ripah loh jinawi’ saja tidak cukup, percuma kita kaya harta kalau Tuhan tidak memberi ampunan.

Pamungkas musik KS membawakan dua nomor: “Wild World” dari Mr.Big dan “One More Night” dari Maroon 5, tentu semua versi KK. Dipuncaki dengan doa yang dipimpin Gus Aniq kemudian salam-salaman semua jamaah dengan iringan tembang “Padhang mBulan” karya Habib Luthfi bin Yahya oleh musik KS. (redaksi – Arif Luqman Kastury)