blank

25 Desember 2016 di halaman Masjid Baiturrahman pendar-pendar sinar keceriaan itu bersinar di wajah-wajah saudara-saudara yang ndeprok sinau, mengkaji tentang ‘pagar kedaulatan’. Mendung melingkupi langit di atas masjid. Hujan juga sempat turun sebentar.

Foto : Umam

Malam ini sebagaimana malam-malam tanggal 25 biasanya, tetapi ada yang spesial, karena malam ini adalah genap 17 tahun usia Gambang Syafaat. Ada tumpeng yang dipotong oleh Mbah Tedjo (Sudjiwo Tedjo) dan diserahkan kepada Sekjen Gambang Syafaat, Ronny. Kali ini adalah kesempatan pertama bagi Mbah Tedjo menemani bocah-bocah Gambang Syafaat sinau hidup. Malam itu yang menjadi pokok bahasan sinau bareng berjudul ‘Menalar Pagar Kedaulatan’.

Kang Jion menyampaikan sambutan ulang tahun. Dia pertama-tama mengucapkan terimakasih kepada semuanya yang telah menyodakohkan waktu, tenaga, bahkan hartanya demi terselenggaranya sinau bareng sebulan sekali ini. “Terimakasih kita ucapkan kepada yang menyodahkan dirinya menemani kita setiap bulan, Pak Saratri, Habib Anis, Pak Ilyas, Pak Budi, Gus Aniq dan kepada semua jamaah karena sebenarnya kita saling memberi.” Begitu sambutan Kang Jion. Yang special lagi adalah adanya sajian berupa kacang rebus, ketela, kimpul yang terhidang kepada jamaah. Hidangan itu adalah shodakoh dari jamaah juga. Ini menandakakan bahwa lingkaran ini tumbuh. Bukti tumbuhnya jamaah adalah diselenggarakannya forum sinau daur, mempelajari tulisan-tulisan Mbah Nun yang dipublikasikan di caknun.com. Sinau daur diselenggarakan setiap jumat kedua setiap bulan. Dalam ngaji daur ini diharapkan tema Gambang Syafaat edisi berikutnya akan dapat ditentukan.

Tentang kedaulatan itu dionceki satu persatu oleh narasumber yang kebetulan hadir pada malam hari itu adalah Pak Ilyas, Mas Helmi Mustofa, Habib Anis, Pak Budi Maryono, dan Mbah Tedjo. Telah diurai diawal dalam mukadimah bahwa bangsa adalah rumah dan Negara adalah pagar. Pagar berfungsi agar tidak semua orang bisa melihat kedalam, mengetahui urusan dalam, atau bahkan masuk bukan hanya sebagai tamu tetapi sebagai garong. Jika dulu tamu-tamu tidak diundang itu disebut kolonialisme, sekarang melalui cara yang baru berupa globaliasai, pasar bebas kita sebut saja neokolonialisme.

Foto : Umam

Uraian pertama dibahas oleh Gus Aniq. Menurut Gus Aniq keruntuhan kedaulatan itu sudah masuk hingga pelosok-pelosok desa contohnya akses penghidupan yang dirampas. Perampasan kedaulatan itu secara fisik maupun psikis. Perihal makanan misalnya, kita disuguhi makanan berikut kemasannya tanpa mempertimbangkan kenyamanan sesuai budaya kita. Sebagai contoh, minum kita sudah dengan botol dan sedotan. Minuman itu panas lagi. Contoh itu menunjukkan bahwa kita sudah tidak berdaulat perihal menentukan makanan yang disajikan, kita sudah dipaksa mula-mula psikis kita, peta kognitif kita diarahkan, kesadaran kita diperbaharui.

Muhajir yang membagi mic pada malam itu ikut urun rembuk. Ia mempertanyakan kedaulatan dalam berbahasa. Dari Sekolah Dasar kita dajari Bahasa Inggris, hingga kuliah S1, S2, S3, Bahasa Inggris selalu menjadi syarat kenaikan tingkat. Kasus Bahasa Inggris ini menunjukkan kita dijajah apa keinginan untuk menjajah. Diceritakan Raja Inggris belajar Bahasa Weles karena ingin berpidato di depan rakyat Weles. Setelah berhasil belajar Bahasa Weles dan pidato secara lancar, sang Raja diakui kebesarannya. Raja Inggris itu belajar bahasa untuk menguasai, bukan tanda inferioritas seperti kita belajar bahasa.

Foto : Umam

Pak Ilyas mengajak jamaah untuk mensyukuri atas usia Gambang Syafaat yang ke tujuh belas tahun. Pak Ilyas membahas tema pada malam ini satu persatu, perkata. Pertama nalar, pagar, dan kedaulatan. Yang pertama dibahas adalah nalar. Nalar berkaitan dengan kepantasan sebagaimana ‘ora nalar’ nadanya mirip dengan ‘ora njowo’. Kalau dalam bahasa akademis nalar berkaitan dengan akal, nalar apa tidak sama dengan logis apa tidak. Sedangkan kedaulatan merurut Pak Ilyas berkaitan dengan cara kita mengambil segala keputusan. Pak Ilyas mencontohkan bukti bahwa kita tidak berdaulat, tentang produk-produk seperti Hp dan motor. Saat ada Hp tipe baru atau motor keluaran baru kita ribut mau membelinya padahal fungsi Hp dan motor masih terpenuhi di Hp dan motor yang lama. Keputusan kita itu menunjukkan kita tidak berdaulat karena kita telah dirongrong kebutuhan konsumtif.

Foto : Umam

Mas Helmi pertama-tama mengucapkan selamat Ulang Tahun ke 17 untuk Gambang Syafaat. Mas Helmi mengajak untuk bersyukur. Membahas tentang ‘Menalar Pagar Kedaulatan’, Mas Helmi mengajak agar tidak usah jero-jero menalarnya karena sudah jelas bagaimana keadaan kedaulatan kita. Judul yang diangkat secara tersirat telah mengabarkan betapa gawatnya kedaulatan kita. Mas Helmi memberi contoh tentang pendidikan kita yang mengekor dari teori-teori dari luar dan tidak menggali dari keilmuan yang sebenarnya kita punya. Masih banyak yang adopsi ketimbang yang kontinuasi. Keterusikan kedaulatan dapat dilihat dari Undang-Undang yang sudah diamandemen. Teramat banyak dalam diri kita yang tidak berdaulat. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengidentivikasi manakah dalam diri kita yang masih berdaulat dan harus kita juga dan kembangkan. Termasuk adalah forum-forum kita seperti Gambang Syafaat ini adalah sisa-sisa kedaulatan yang harus kita jaga. Bukti-bukti kedaulatan itu memberi kita pilihan untuk melangkah.

Mas Helmi menyampaikan rekomendasi Mbah Nun saat Silatnas di Kadipiro awal Desember 2016. Pertama, agar konsep Maiyah menjadi sinau bareng, bagaimana kita saling memberi pembelajaran satu sama lain. Kedua tentang solusi atas ketidakdaulatan dengan memperkenalkan segitiga cinta: Allah, Rasulullah, dan hamba. Melibatkan Allah dan Rasulullah dalam segala urusan. Allah dan Rasulullah tidak diasingkan. Bumi harus ada dalam segitiga itu.

Foto : Umam

Mbah Tedjo menunjukan topinya dari luar negeri, jaketnya juga tetapi dia merasa orang Indonesia. Mbah Tedjo bercerita tentang kenyamanan mengaji. Dalam mengaji mungkin logatnya Jawa karena dia lahir dari tradisi Jawa yang kuat. Maka jika ia menggunakan logat orang lain hatinya tidak tentram, ia terusik. Ada bacaan Al Qur’an yang dibaca dengan logat Arab yang ia suka tetapi jika ada bacaan yang ia tidak nyaman dia dengar maka ia mencari sendiri cara membaca sesuai dengan kenyamannya, menurutnya itulah kedaulatan.

Dalam kesempatan itu Mbah Tedjo bersama Wakijo, Mas Doni, Nanda Gultom, dan teman-teman lain juga memperkaya pengetahuan kita dengan kolaborasinya musiknya. Kata Mbah Tedjo, kata-kata itu terbatas sedangkan musik tidak terbatas. Kata-kata hanya sekedar latihan dan ditinggalkan setelah main beneran. Mengalirlah intrumentalia Tombo Ati dan nomor-nomor lain.

Habib Anis mengurai, bahwa orang yang tidak punya tekanan rendah diri maka dia berdaulat. Islam di nusantara pada zaman dahulu sangat berdaulat. Kedaulatan itu melahirkan blangkon, udeng, wayang, dan lain-lain. Kenapa orang Indonesia terutama negaranya tidak berdaulat? Karena tidak percaya dengan dirinya sendiri. Dulu peradaban Islam sangat muncul karena percaya diri. Mereka berdebat tetapi tidak berkelahi. Tidak mungkin kita bisa berdaulat jika kita tidak percaya diri.

Foto : Umam

Alasan kita harus menyertakan Allah dan Rasulullah dalam menyelesaikan masalah dijelaskan Habib Anis melaui cerita. Seorang sufi berjalan kemudian menemui orang sakit. Saat akan menolong dalam hatinya krentek muncul pikiran ‘Kok Allah tega membiarkan orang seperti ini.” Pikiran yang timbul ini kelewatan karena tanpa kamu dan Allah sendiri saja mampu menyelesaikan masalah itu. Contoh yang lain adalah kisah Ashabul Kahfi, tujuh orang pemuda yang keliling berdakwah dan hanya mendapat pengikut seekor anjing kemudian ditudurkan oleh Allah di dalam gua selama 370 tahun. Saat bangun mereka melihat masyarakat sudah berubah seperti yang mereka harapkan. Artinya apa, Allah dapat mengubah sesuai dengan kehendakNya denganmu ataupun tanpa kamu. Jadi kita jangan merasa menjadi faktor. Tatapi juga bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa karena Allah sudah melakukan tanpa kita.

Tentang pagar, Pak Budi Maryono menjelaskan tentang tradisi berpagar sekarang ini. Dulu pagar itu tidak tinggi. Pagar masih memberi kesempatan antara tuan rumah dengan tetangganya untuk saling sapa. Pagar juga digunakan untuk hiasan, untuk menyuguh tamu. Ada buk untuk menyuguh tamu. Tapi pagar sekarang tinggi-tinggi dan rapat membuat orang terpenjara di dalamnya. Sebuah rumah, yang membuat pagar tentu saja tuan rumah bukan dibuatkan pagar oleh tetanganya.

Foto : Umam

Pak Budi Maryono juga bercerita tentang sebuah film tentang sebuah keluarga yang menyuruh seseorang membuatkan pagar rumah. Dan akhirnya si pembuat pagar itulah yang merampok rumahnya. Maka hati-hati si pembuat pagar bisa saja merampok rumah. Kemudian Mbah Tedjo bertanya, lha yang membuatkan pagar Indonesia itu siapa?

Habib Anis menjawab pertanyaan dari jamaah, penting manakah antara kasih sayang dengan kedaulatan? Menurut Habib lebih penting kedaulatan. Dengan kedaulatan dapat membuat orang lain berdaulat. Tanpa kedaulatan kasih sayang dan cinta bisa palsu. Acara ditutup pukul 03 dini hari dan dipuncaki dengan shohibul baiti. (redaksi)