blank

Jika ditanya seseorang, apa perbedaan Majlis Maiyah dengan beberapa majlis lainnya. Jawaban dari pertanyaan tersebut, mungkin bisa sama juga dapat berbeda. Argumen sama maupun berbeda, apakah harus diperdebatkan bahkan dipertentangkan. Bukankah keduanya berangkat dari cara pandang individu dalam melihat, mengamati, menyingkap, dan merekam sebuah peristiwa. Kategori sama maupun beda bukanlah persoalan apalagi kebutuhan. Namun yang terpenting keberadaan Majlis Maiyah sebagai media sinau bareng. Sinau beragam membaca persoalan agar tidak gumunan. Bukan hanya itu, melalui Majlis Maiyah, para jamaah dilatih dan belajar cara berpikir agar lebih jernih menyikapi permasalahan dan menerima berbagai informasi. Oleh sebab itu, Satu Mata Membaca diperlukan supaya memperoleh pencerahan dari ragam pandangan, wacana, dan problem yang serba manipulatif.

Majlis Maiyah dapat dikategorikan dengan beragam istilah. Maiyah bisa disebut diskusi, pengajian, curhat, guyon dan lain sebagainya. Unik. Bagaimana tidak unik. Coba bayangkan, para jamaah dalam waktu 6-7 jam siap untuk mengikutinya bahkan sampai pagipun tidak dipermasalahkan. Tetapi tetap ada batas waktunya. Edan tenan. Di era yang penuh dengan talbis, manusia rela meluangkan waktu tidak sebentar demi menikmati kebebasan hidup. Apakah para jamaah berasal dari orang yang bebas maupun tertekan tidak perlu diperdebatkan. Dinikmati saja. Majlis Maiyah biasa dijadwalkan pukul 20.00 WIB dan berakhir dengan kesepakatan serta persaudaraan. Dan alhamdulillah pada 25 Oktober, Mbah Nun dapat hadir menyapa Jamaah Gambang Syafaat.

Sebelum Mbah Nun memulai pembicaraan, para jamaah dipersilahkan menyampaikan gagasan serta kegelisahan. Dalam merespon beberapa gagasan, Mbah Nun mengungkapkan bahwa beliau tidak memiliki hak dan kewajiban untuk menjawab. Apalagi karena faktor ekspektasi. Mbah Nun merespon karena persaudaraan, itikad baik dan cinta kasih terhadap jamaah. Selain itu, tidak ada mandat maupun keahlianpun untuk menjawabnya, tutur Mbah Nun.

Beraneka ragam gagasan boleh disampaikan oleh jamaah. Bertanya tidak harus terkait tema. Bebas bertanya. Soal keluarga, sosial, politik, birokrasi, agama, budaya, ekonomi dan sebagainya. Bagaimana bersikap di tengah-tengah kondisi keluarga yang tidak kondusif. Itulah bagian dari pertanyaan jamaah. Respon dari pertanyaan tersebut, Mbah Nun mengutarakan ayat Inni Ja’ilun Fil Ardhi Khalihah, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi. Tentunya dalam menyikapi persoalan, manusia berkewajiban memikirkan negara, budaya, peradaban, tata nilai, dan keluarga. Bukan hanya itu, manusia dalam segala hal harus dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain berdasarkan kapasitas yang dimiliki dan memahami skala prioritas.

Memiliki kapasitas sebagai pimpinan daerahpun terkadang kebablasan bahkan dengan sengaja. Buktinya di wilayah kebirokrasian di Indonesia terdapat kejanggalan bahkan terdapat sisi ketidakadilan. Birokrasi dijalankan sesuai kehendak yang memimpin tanpa adanya dampak kemaslahatan apalagi unsur keadilan sosial. Dalam merespon pertanyaan tersebut, Mbah Nun mengungkapkan “jalankan kewajibanmu, setelah itu serahkan kepada Allah”. Selain itu, berniatlah karena Allah bukan demi lainnya. Allah adalah Fa’alun Lima Yuridu, pelaku utama kehidupan manusia. Manusia terkadang dan sering melupakan kekuasaanNya.

Lakukanlah beberapa langkah dan strategi dalam mengatasi persoalan secara tepat dan komprehensif. Jangan asal-asalan. Pertama. Buatlah tim untuk meneliti apa yang dikeluhkan. Kedua. Mencari peluang atau relasi agar bisa ketemu dengan pimpinan daerah. Ketiga. Meminta waktu satu atau dua jam untuk berdialog menyampaikan gagasan. Keempat. Persoalan diterima maupun ditolak tidak menjadi masalah yang penting sudah menyampaikan gagasan. Mbah Nun juga menyampaikan aksi demonstrasi yang sering dilakukan oleh para demonstran bukanlah cara yang efektif. Dialog menjadi pilihan dalam mencari solusi. Namun jika demonstrasi memang diperlukan, lakukanlah asalkan jangan tanggung-tanggung dalam mengerahkan massa, kerahkan satu juta massa, jawab Mbah Nun.

Mbah Nun memberikan gambaran tentang kisah Sayidina Umar menjedorkan kepalanya karena ada keledai yang terpeleset disebabkan jalan yang rusak. Itibar di atas menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi para pemimpin daerah, pejabat, dan siapapun yang memegang kekuasaan. Hewan jatuh saja, Sayidina Umar merasa bersalah, apalagi manusia. Pemimpin harus bertanggungjawab atas perbuatan dan kebijakan yang tidak memberi kemanfaatan kepada rakyat apalagi menyengsarakan. Berdasarkan contoh di atas, mungkinkah uswatun hasanah yang diajarkan Sayidina Umar dapat dicontoh pemimpin Indonesia? Apakah tindakan pemimpin yang dholim memang disengaja atau karena tekanan.

Selanjutnya Mbah Nun merespon pertanyaan sebelum ruh ketemu jasad apakah sudah punya nama. Kapan hidup dimulai dan kapan manusia menjadi manusia. “Ini persoalan kehendak. Begitu Allah berkehendak, maka manusia sudah lahir”. Jika manusia dikatakan lahir saat terdengar suara cengerrr dari seorang bayi. Bukankah itu hanya perjanjian dan kesepakatan budaya. Sebenarnya kelahiran manusia dimulai ketika ovum bertemu dengan sperma karena kehendak Tuhan. Mbah Nun memberikan contoh. Menurut dokter, manusia dikatakan meninggal jika detak jantungnya berhenti. Meskipun jantungnya berdetak, tetapi akalnya tidak berfungsi juga dikatakan meninggal. Sambung Mbah Nun dengan lontaran pertanyaan, terus kapan Islam lahir. Bukankah secara umum Islam lahir sejak Nabi Muhammad menerima wahyu pertama, iqra’? Jamaah Maiyah bisa menjawab tergantung kehendak Allah kapan lahirnya. Pungkas Mbah Nun. (Redaksi-Muhamad Muhajir).