blank

Gambang Syafaat kali ini (25/7) temanya saya anggap kereng tur angker, menakutkan. Sekolahan biasanya sebagai tempat mendidik kok jadi objek yang akan dididik, “Mendidik Sekolahan”, tutur Gus Aniq di awal pembicaraan.

Gus Aniq juga menjelaskan bahwa definisi ‘sekolah’ sudah mengalami pergeseran. Yang kita maksud sebagai sekolahan adalah suatu institusi, kita terpaku pada itu. Bukan lagi pada tataran konotasi yang sebenarnya bahwa sekolah adalah tempat untuk mencari ilmu. Bahwa sekolahan harusnya didasarkan kepada dimana sekolahan itu berdiri. Misalnya orang yang ada di pegunungan mestinya sekolahannya berbasis pegunungan, begitupun jika orang pesisir mestinya sekolahannya berbasis pesisir.

Selanjutnya Gus Aniq kembali mengingatkan kita tentang iqra’ dalam surat Al-‘Alaq.
“Di surat Al-‘Alaq menarik”, ucap Gus Aniq. Iqra bismiroobikkalladzi kholaq. Kholaqo linsaana min’alaq. Iqra warrobbukalakram. Alladzi ‘alamabil qalam. ‘Alamal insaanamallamya’lam. Ayat itu adalah tatanan ideal, bagi siapapun, bagi manusia, mestinya lima (ayat) itu yang kita pegang. Iqra’ yakni berarti ‘apa saja’ harus dibaca. Bismirobbi yaitu dengan menyebut Robbmu, alladzikholaq yakni ciptaannya Allah. Artinya kita tidak bisa memikirkan ‘keberadaan’ Allah, semakin kita mencari, semakin kita memikirkan ‘keberadaan’ Allah akan semakin keliru. Berpikirlah lewat tajallinya Allah, caranya adalah dibaca dengan ada ‘keikutsertaan’ Allah.

Robb artinya adalah Yang Mengayomi, Yang Mendidik. Kemudian Iqra’ mengandung kata ro’ro’a artinya adalah pergerakan terus menerus, istiqomah dan ada dinamika-dinamika. Maka tarbiyah, yang mengandung unsur Robb, adalah bersifat mengayomi dan mendidik. Namun jika pendidikan sudah ditujukan untuk menciptakan daya saing, mendingan prei (keluar) dari pendidikan (sekolah).

Lanjut Gus Aniq, “Yang kita baca ada dalam wilayah Robb, kita di dalam manifestasinya Allah”. ‘Alamal insaanamallamya’lam. Gusti Allah iku aweh ilmu. Mengajari, Allah memberikan ilmu kepada manusia apa yang manusia tidak tahu. Kalla innalinsaana la yadghaa, bahwa manusia itu sudah melebihi batas, lacut, ada sifat tughyan, ngeluwehi, sakarepe dewe. Selain itu manusia punya sifat istigna, rumongso sugeh, rumongso pinter. Inna’ila robbikarruj’aa, yakni manusia mbalik meneh, kembali lagi, diminta kembali ke Robbnya.

Selanjutnya Gus Aniq menerangkan perihal Al-asma. Al-asma adalah realita-realita. Buktinya adalah kita orang Indonesia kalau menyebut nama ‘pohon’, itu pohon. Orang Arab mengartikannya syajaroh. Orang Inggris menamakannya tree. Itu disebabkan karena mereka (manusia) ingin menghadirkan nama-nama itu untuk menjadikan konvensi sosial. Namum yang susah ialah memaknai simbol-simbol Al-asma, yang harus kita baca. Kalau hanya diartikan nama, maka seluruh dunia hanya disepakati satu nama. Seumpama Nabi Adam sejak diciptakan diperkenalkan oleh Allah tentang pohon dan dinamai pohon, maka seluruh dunia hanya satu nama saja, yaitu pohon. Maka dari itu berbeda-beda karena manusia dituntut untuk berpikir. Lalu yang masih seakar dengan kata Iqra’ adalah Qari’. Qari’ adalah mereka yang mampu membaca realita-realita.

Lebih kedalam lagi, jamaah diajak menyelami sejarah sekolah. Gus Aniq menjelaskan bahwasannya sebelum ada ‘sekolah’ yang kita kenal saat ini, di Nusantara sudah mengenal istilah pesantren, padepokan, sanggar. Dinamakan pesantren karena pada mulanya adalah berfungsi sebagai tempat meditasi. Gandeng wong jobo kui pengen sinau karo Kyai, maka Kyai memberikan tempat belajar yang dinamakan dinamakan pesantren. Siswanya dinamakan santri. Santri adalah orang yang mau belajar dan ngaji.

Lalu sejak kapan model ‘sekolah’ mulai eksis di bumi Nusantara? Yakni abad ke-19, saat kedatangan Kolonial, dihadirkanlah sekolah-sekolah. Munculnya sekolah adalah karena terjadinya kuasa pengetahuan pada saat revolusi industri dan revolusi Perancis. Jauh sebelum revolusi itu, ilmu telah berkembang di Timur Tengah yang bersamaan dengan zaman kegelapan di Eropa. Orang-orang Eropa berbondong-bondong ingin belajar ke Timur Tengah.

Mereka (orang-orang Eropa) sowan, ingin berguru. Dari situlah ada sistem kontrak. Setelah sekian lama berguru, mereka kembali ke Eropa dan mendirikan sekolah-sekolah lalu dibawa ke Nusantara dengan motor Kolonial. Bahwa pada zaman revolusi industri hingga saat ini mempersyaratkan bahwa bagi siapa saja yang ingin kerja, masuk ke dunia industri harus sekolah. Akhirnya sampai dibawa ke Indonesia, sampai saat ini.

Jika saat ini orang mengatakan bahwa kualitas pendidikan terbaik adalah di Finlandia, itu artinya ada kuasa pengetahuan. Permasalahan kita saat ini yang sebenarnya adalah kita sedang krisis keyakinan. Perihal pesantren, bahwa kalau pesantren kok sudah dimasuki kurikulum yang dibawa pemerintah, itu tanda-tanda pesantren akan rusak. Di akhir kalimatnya Gus Aniq mengajak jamaah untuk kembali ke asal-usul diri kita. Asal usul bangsa kita. “Mari kita kembali ke peradaban kita yang sesungguhnya”. (Redaksi/Malik)