blank

“Pak Dhe, ternyata Walisanga tidak ada!”

Tergopoh-gopoh Dalban memanggil Pak Dhe Tarto yang sedang asyik menata-nata berkas.

“Tidak ada bagaimana maksudmu?”

“Ini lho, aku mendapatkan fakta baru”

“Fakta baru bagaiamana ?”

Dalban membuka handphonenya, dia tunjukan sebuah link di youtube : “Fakta baru Walisanga berdasarkan Serat Awagan”.

Pak Dhe Tarto berlalu begitu saja .

“Pak Dhe,.. lihat dulu, disini ditunjukan menurut Ustad Syaraf Ladalah bahwa Walisanga hanya mitos sebagaimana ada di Serat Awagan “

Pak Dhe Tarto tetap meninggalkan Dalban, tanpa melihat link video yang ditunjukkan.

Mungkin apa yang dialami Dalban terjadi pada Anda, Anda sedang semangat-semangatnya mencari pengetahuan, melakukan dekontruksi-dekontruksi terhadap apa saja yang selama ini dianggap sudah final. Dan diluar sana, tanpa Anda ketahui sedang terjadi perang. Perang zaman sekarang bukanlah perang yang menimbulkan darah, bukan carok, bukan perang fisik. Perang era mutakhir, yang diserang bukan badan Anda melainkan pikiran, dan kesadaran Anda.

Mengapa yang diserang pikiran dan kesadaran Anda ? Orang melakukan tindakan, bukanlah ujug-ujug, tindakan seseorang melalui pertimbangan-pertimbangan. Keputusan melakukan sesuatu berawal dari pengetahuan Anda mengenai sesuatu. Jika boleh dibuat runtutannya, yang pertama adalah informasi, kemudian menjadi persepsi, kemudian konklusi dan selanjutnya aksi.

Kalau  Anda melakukan tahlil, karena anda percaya bahwa itu adalah peninggalan kyai Amirudin misalnya, dan suatu saat Anda mendapatkan informasi bahwa Kyai Amirudin Cuma tokoh karangan, tentu Anda akan melihat kembali arti penting tahlil.

Dengan menyerang pikiran dan kesadaran Anda, musuh-musuh Anda tidak perlu melakukan serangan fisik, sebab jika pikiran dan kesadaran Anda telah dikuasai, telah disusupi “pesan intuitif” melalui rekayasa informasi yang massif,  Anda akan menjadi “robot” musuh-musuh Anda.

Walisanga meninggalkan begitu banyak tradisi, yang selama ini bisa jadi tidak pernah dipertanyakan keabsahannya. Melawan tradisi harus dilakukan dengan membuat “tradisi” baru, dan agar tradisi baru berjalan mulus, dipersyarati oleh salah satunya adalah menghilangkan tradisi lama. Maka jika ada informasi yang mengatkan bahwa Walisanga hanya fiktif, tentu tujuannya adalah bahwa pengikut tradisi Walisanga akan meninggalkan tradisinya.

Tetapi kalau untuk meniadakan sejarah hanya dengan buku sejarah yang lain? Bukankah itu absurd? Klarifikasi sejarah bukan kepada ditemukannya bacaan baru. Ketika ada fakta yang diambil dari sebuah sumber sejarah, dan kebetulan bertentangan dengan fakta yang selama ini diyakini, itu bukanlah fakta. Sejarah menjadi sangat sulit diklarifikasi ketika pelaku sejarah sudah tiada. Sejarah semakin presisi kebenarannya jika seluruh bangunan cerita dan data, menunjukan pada sebuah konsistensi.

Maka jikalau Anda mendapati link, pidato atau tulisan apapun yang hanya bersumber dari sebuah buku,serat, atau apapun , dan mengklaim bahwa itu fakta baru, Anda boleh berkata kepada hati Anda “apa iya sejarah bisa diklarifikasi kepada selain pelakunya? “