blank

Begini, agak berbeda dirasakan sewaktu, misalnya, anda atau saya berkunjung dan mengaturkan ucapan “sugeng riyadi”, “ngaturaken sedaya kalepatan”, “minal ‘aidin wal faizin”, atau sejenisnya, kepada orangtua, sanak kerabat, teman bahkan kepada sesepuh. Rasa itu pasti mengandung kedalaman batin sendiri-sendiri. Momen udar rasa maujud berkat ‘diungkal’ sedemikian tajamnya. Saya tidak bisa mengukur secara pasti perbedaan kelandhepan rasa milik setiap orang. Tetapi sedikit bisa terlihat dari ‘solah bowo’ setiap orang.

Anda tidak jarang melihat bagaimana ketika seseorang sowan Kiai dengan khusyuk bersalaman cium tangan wolak walik. Semua orang pada saatnya ingin melakukan hal yang sama kepada yang disepuhkan.

Terkadang karena ruang tamunya tidak muat saking banyak yang sowan, ada satu santri berjaga di luar rumah untuk mempersilahkan tamu duduk sementara di teras sambil menunggu kloter masuk berikutnya. Fenomena ini bisa ditangkap betapa ada tokoh masyarakat yang dimuliakan dan dihormati oleh masyarakat setempat.

Tibalah saatnya para tamu duduk di dalam mendengarkan fatwa seorang Mbah Kiai Jogo. Dua orang santri ‘bihusnil adab’ mengaturkan segelas minuman satu-satu kepada para tamu. Mbah Jogo mempersilahkan para tamu untuk menikmati suguhan toples hidangan aneka kue basah dan kering, tak terkecuali ciput.

Mbah Jogo mulai menceritakan bagaimana jenis kue lebaran berupa ciput itu bisa sampai di zaman kita ini. Uraian babagan makanan itu tentu tak lepas dari cara masyarakat kuno dulu menemukan dan meramu. Saya lebih cenderung ikut menyebut kuno daripada dulu. Sebab kuno tetap mengalir dan dipakai sampai sekarang. Kuno itu berasal dari kauno: kaunen, unen-unen; jejaring ucapan dan lampah orang zaman dulu yang sampai sekarang di-gugu dan di-tiru tindhak tutur mereka.

Sebagaimana dipakai pula dialektika bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari. Di pesantren, kita mengenal terma-terma kunci khusus untuk memaknai kitab kuning secara terstruktur. Kita semua mengenal dua tokoh mujtahid besar yang berjasa menyinkronkan struktur bahasa Arab dengan bahasa Jawa, yaitu Mbah Kiai Kholil Bangkalan dan Mbah Sholeh Ndarat Semarang. Sehingga berkat beliau berdua, pesantren memiliki “default structure”, struktur baku yang sangat lekat. Misalnya, seorang santri pasti hafal dan mengerti rumus utawi, iku, apa, sapa, kang, hale, apane, kelawan, ing, ingdalem, rupane, kerana dan lain-lain yang kemudian ditandai dengan beragam simbol. Unen-unen itulah yang lestari dan bisa merasuk rusuk sampai sekarang.

Ciput adalah sejenis kue kering yang keberadaannya tetap diterima dan disajikan sebagai suguhan para tamu ‘badan’. Ciput khusus dibuat dari bahan terigu dan wijen. Bentuknya lazim seperti bulatan kacang atom. Namun, permukaannya dikelilingi oleh tempelan-tempelan wijen seperti onde-onde. Bedanya, kalau onde-onde itu kue basah dan diisi kacang ijo di dalamnya, sedangkan ciput kue kering tanpa isi.

Sebagian diceritakan bahwa ciput tak lepas dari fungsi kelekatan, penampungan dan jalinan. Pelbagai cara orang-orang kuno mengisyaratkan sebuah benda atau simbol agar generasi selanjutnya bisa menangkap pesan harmoni generasi sebelumnya.

Mbah Jogo meneruskan penjelasannya. Lagi-lagi kita di masa ini disuguhi pertikaian fisik maupun non-fisik. Bumi kita sudah lama rela menampung kita tanpa berharap pamrih. Berapa kali manusia di jagat ini yang tiap waktu membuang tinjanya di dalam bumi, tapi bumi masih saja tidak meronta, tidak berteriak “busuk kau, wahai manusia” atau “taek manusia-manusia itu”. Alangkah bejatnya manusia yang masih saling bertikai sementara bumi ini selalu diinjak, dikencingi, ditinjai dan dipertontonkan pertikaian mereka. Tidak tahu malu manusia itu.

Mbah Jogo mengambil rokok di asbak dan mengepulkan lagi asap beraroma harum itu. Para tamu nampak masih betah dengan duduk silanya. “Monggo lho, cipute didhahar!”

Sesaat kemudian Mbah Jogo menghela nafas. Kini tibalah saat manusia harus kembali memahami hakikat dirinya bahwa ia sungguh benar-benar dimuliakan oleh Tuhan. Kemuliaan yang melekat pada diri manusia menempati ruang yang sama: menempati dan meninggali di atas bumi manusia; menjalin erat satu sama lain yang hendaknya bersatu padu menciptakan angin-angin segar.

Sebab berbuat kesalahan, khilaf dan dosa adalah perlakuan paling produktif yang dilakukan oleh manusia. Tidak bisa tidak, manusia melewati masanya pasti mewarisi kesalahan. Terhadap dirinya sendiri saja, ia bisa durhaka dan berdosa, apalagi kepada Tuhan, sesama manusia dan makhluk lainnya juga.

Anda bisa berkata bahwa dosa kepada Tuhan mudah dilebur, setelah selesai sholat anda beristighfar beberapa kali dan sesekali menangis. Tetapi, belum tentu di waktu itu juga, anda mau merelakan waktu diri menyambangi saudara, teman, atau siapa saja untuk anda mintai maaf. Momen-momen ini yang kebanyakan manusia dilewatkan begitu saja. Sungguh hari fitri tidak hanya bisa ditemui pas di awal bulan syawal saja. Tapi, setiap hari hendaknya dibuat fitri.

Mbah Jogo memungkasi pembicaraannya. Ciput yang anda makan tadi sebisa mungkin jadikan ‘ibroh bagi diri anda sebagai manusia yang seharusnya mampu menampung, menjalin dan saling melekatkan keindahan satu sama lain. Mbah Jogo kemudian melantunkan satu bait “thib tsumma shil rohman tafuz dlif dza ni’am # da’ su`a dhonnin zul syarifan lil karom”. “Monggo sareng-sareng!”