blank

Awalnya istilah ini saya dapatkan di sebuah grup WA, pikiran saya sudah barang tentu menebak “halah, paling paling tidak jauh jauh dengan like, share”. Benar memang, istilah jihad Jempol adalah semacam justifikasi bahwa mengshare berita atau konten WA memang berpahala, dan itu adalah upaya dalam bingkai ‘jika kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu, jika tidak bisa maka pakailah lisanmu, atau setidaknya dengan hatimu’.

Saya tidak pandai meng-qiyas-kan, jempol itu termasuk dalam wilayah tangan, ataukah lisan, apakah hati. Kalau cuma memandang bahwa jempol adalah bagian fisik dari tangan, maka jihad Jempol adalah upaya paling baik. Tetapi, saya kira yang dimaksud dengan tangan itu lebih bersifat perjuangan gigih, dengan kekuasaan dan tunai. Jika demikian, jihad Jempol tidak tepat dikategorikan sebagai upaya terbaik dalam melawan kemungkaran dan juga menegakkan makruf, mengapa? Karena like’, share bukanlah tindakan langsung, jihad Jempol hanyalah sebuah usaha membentuk opini di dunia medsos.

Bukan berarti jihad Jempol tidak berarti apa apa, sebab kita tahu bahwa hampir semua orang kelas menengah di tangannya handphone sudah ‘nyawiji’. Nyawijinya handphone’ membuat, orang mendapatkan informasi intens justru dari sebaran di medsos. Sebagaimana kita tahu, informasi adalah semacam katalis, bahkan bisa jadi bagian dari reaktan, yang membuat sikap/pandangan seseorang. Jika satu informasi mengepung, mendominasi jagad medsos, istilahnya viral, maka cukup berpotensi untuk menguasai pikiran orang banyak, dan tentu saja episode selanjutnya adalah mendrive tindakan.

Bayangkan orang berduyun-duyun melakukan satu tindakan yang sama tanpa komando fisik, hanya dengan memviralkan informasi dengan jihad Jempol. Kita melihat, dan faktual bahwa ternyata jihad Jempol bisa menggerakkan sebuah konsolidasi massa. Saya berdoa semoga jempol kita dibimbing oleh akal yang tercerahkan. Jem jem jem jem, abrakadab jemmmmmm