blank

Kita tahu Aksara Jawa bentuknya sangat rumit seperti huruf Arab yang harus dikasih pasangan agar bisa dibaca. Orang terdahulu jika menulis menggunakan aksara Jawa bukan dengan huruf latin. Saya punya sebuah kaos yang ada tulisan Aksara Jawa. Waktu itu saya pakai di rumah yang sedang ada orang banyak, di antara orang banyak tidak ada yang berkomentar sama sekali. Mungkin karena mereka tidak paham tulisan berbahasa Jawa di kaos saya.

Saya agak kaget ketika saya mau masuk pintu kamar tiba-tiba Mbah saya menegur saya “kaosmu ko ono tulisane sahabat” saya jawab “enjeh mbah” terus saya masuk kamar dan merenung. Ada rasa penyesalan dalam diri saya karena saya tidak memahami aksara Jawa dengan baik.

Sejak kapan kita tidak belajar Bahasa Jawa? Pendidikan kita menyisihkan Bahasa yang kita gumuli setiap hari ini dari bangku sekolah. Dimana saja kita masih mendengar orang berbicara menggunakan Bahsa Jawa. Di terminal, di pasar, di pabrik. Bukalah youtube, ketik kata ‘rumangsamu penak, yo penak’. Di sana kita akan mendapatkan dialek Jawa digunakan di seluruh oleh saudara kita yang sedang bekerja di luar negeri.

Sejak sekolah berdiri dan menjadi sistem kelas begini Bahasa Jawa tidak dipelajari. Huruf Jawa dianggap kuno dan tidak bisa dibawa kekemajuan. Menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, perdebatan para ilmuan kebudayaan Indonesia seputar apakah menggunakan tradisi untuk pembangunan, mencampurkannya, atau meninggalkannya sama sekali?

Mbah Nun mengatakan “Arab digarap-Barat diruat-Jowo di gowo” kata-kata itu menegur diri saya karena kejawaan dalam diri saya belum bisa saya bawa. Ungkapan tersebut mengajak kita agar selalu mengedepankan jatidiri seseorang dalam sebuah daerah atau tempat tinggal. Kita tinggal di Jawa, Islam kita Islamnya orang Jawa yang kita pelajari dari Arab. Aksara Jawa adalah aksara yang lembut dalam penulisannya mirip sekali dengan huruf hijaiah karena penulisan aksara Jawa harus dengan pelan agar sempurna penulisannya dan begitu juga dengan huruf hijaiah.

Sebuah huruf pastilah membawa pesan. Dari bentuk huruf Bahasa Jawa  yang lentur itu kita mendapatkan sebuah pesan tentang kelenturan orang Jawa. Lentur, sikap yang perlu dimiliki untuk dapat memangku negeri ini. Sikap keras akan membuat diri kita patah, sedangkan sikap lembek akan membuat diri kita dinjak-injak, diremehkan. Lentur adalah kuat tetapi tidak mudah patah. Kiranya itu pesan kejawaan yang terkandung dalam huruf Jawa.

Orang terdahulu mewariskan bukti sejarahnya dengan tulisan dengan menggunakan aksara Jawa. Kita saat ini tidak mengenal aksara Jawa bagaimana bisa belajar kejawaan kita? Tanpa mengenal sejarah orang Jawa sendiri, asupan dalam diri kita sekarang ini adalah asupan dengan pengenalan huruf-huruf latin sehingga kita lupa bahawa kita mempunyai huruf sendiri.

Saya pernah membaca buku berjudul walisongo, buku ini bercerita tentang orang Jawa dan kematian. Sebelum kematian dan setelah kematian. Jiwa seseorang itu menempel pada baju dan benda-benda yang dikenakan dan disentuhnya, dan berbagai bahasan lainnya. Buku itu mulanya adalah kitab, ditemukan di zaman kolonial di Kudus di sebuah keratin. Kitab itu kemudian dibawa ke Belanda. Dipelajari di sana kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda. Saya mendapati buku tersebut terjemahan dari Bahasa Belanda. Kita mempelajari budaya kita sendiri dari Bahasa Belanda. Contoh lain, Kamus Jawa Kuno Indonesia karya P.J. Zoetmulder bekerjasama dengan S.O Robson adalah Bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sumarti Suprayitna.

Kita belajar tentang Jawa dari penjajah kita, ya kalau mereka jujur, tidak membelokkan sejarah, nilai, ilmu leluhur kita. Kita patut curiga. Hal lain yang bisa kita pelajari dari kasus ini adalah, mereka mempelajari Bahasa Jawa sampai ke akar-akarnya untuk menguasai kita, terus bagaimana sikap hati kita ketika mempelajari bahasa mereka?