blank

Juli adalah tanda dimana seisi rumah begitu riuh. Obrolan antara Bapak, Ibu dan anak kali ini sedikit serius. Mereka sepakat bab obrolan sekolah. Sekolah tak sekadar lagi sebuah tempat. Sekolah bagi sebagian orang adalah jalan mulus menuju kesuksesan. Sekolah menjelma menjadi beragam makna. Makna sekolah bukan lagi mendidik anak tapi jalan meraih kesuksesan berupa materi.

Majlis Maiyah Gambang Syafaat, 25 Juli 2017 mengangkat tema ‘’Mendidik Sekolahan’’. Penggiat maiyah di Gambang Syafaat perlu menguraikan bahkan memurnikan kembali makna sekolah bagi para jamaah. Pak Budi Maryono merasa perlu menceritakan ihwal awal anak ketiga saat memilih sekolah. Gigih berpendirian kuat. Seusianya, dia mantap dengan pilihan awal memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Semarang.

Memasuki kelas 6 SD, teman-teman Gigih mengurangi waktu bermain bahkan ada yang sama sekali tidak bermain. Mereka memilih mengikuti pelajaran tambahan atau bimbel sebagai persiapan menghadapi Ujian Nasional. Kata Pak Budi, sistem pendidikan seperti ini membuat anak terpaksa melakukan aktivitas yang tidak disukai. Sekolah sudah merampas waktu bermain anak.

Namun berbeda dengan Giigih, dia masih tetap bermain daripada serius mempersiapkan sebuah ujian. Hal ini yang membuat sang Ayah khawatir. Khawatir terhadap nilai Ujian Nasional anaknya. Jika nilainya kecil, pilihan sekolah juga sedikit. “Jika kamu ingin menciptakan banyak pilihan, nilai Ujian Nasional harus kamu naikkan” pesan Pak Budi. Singkat cerita Gigih berhasil mendapat nilai baik dan memasuki SMP pilihannya sendiri bukan pilihan Orangtua.

Namun sebagai orangtua, Pak Budi ingin masuk di SMP yang terbaik. Gigih keras dengan pilihan sekolahnya meski tak termasuk sekolah favorit. Pak Budi berusaha membujuk Gigih tapi tak berhasil. Gigih tetap pada pilihannya. Tak ada niatan berubah.

“Ketika Gigih berhasil menentukan pilihan sendiri berarti sebagai orangtua kita sudah berhasil menjalankan pendidikan. Sekolah dimanapun sama yang terpenting adalah pendidikannya. Yang terpenting adalah diri kita. Pendidikan ada pada diri kita” imbuh Pak Budi.

Sekolah dengan sistem pagar adalah persoalan lain. Belajar tak mengenal batas waktu dan tempat. Belajar bisa dilakukan kapan dan dimana saja. Di sekolah, beragam jenis guru ada. Ada guru baik, jahat bahkan ngeselin. ‘’Ketika bertemu beragam guru, itu adalah pelajaran sesunguhnya.’’ Ujar Pak Budi Maryono. Pak Budi menambahkan bahwa bagaimana kita mendapatkan pembelajaran dari sekolah. Setiap masalah yang timbul dari sekolah adalah cara kita menemukan pembelajaran itu sendiri.

Sekolah harus diisi kasih sayang sebanyak-banyaknya. Sekolah tak menawarkan rasa itu sedari awal. Di sekolah, siswa dipaksa memilih jurusan antara IPA, IPS, atau Bahasa. Padahal ilmu di dunia ini beragam tak hanya sekitar ketiga jurusan di atas. Pak Ilyas menambahkan sistem pemerataan tersebut menihilkan kasih sayang.

Sistem kurikulum seragam selalu mengunggulkan satu jurusan saja. Program IPA dan Bahasa asing selalu diutamakan. Pelabelan terhadap jurusan ini adalah hasil orientasi sekolah terhadap indistri bukan mendidik. Sekolah adalah tempat mempersiapkan anak untuk memasuki dunia indistri. Dunia dengan penuh materi. Sekolah lupa bahwa mendidik tak sekadar mencangkup materi tapi ada kasih sayang dan hal mulia lainnya.

Pak Ilyas juga sempat mengungkapan bahwa mendidik meliputi tiga hal. Robbun, Malikinnas dan Ilahinnas. Robbun, Allah memperlihatkan dirinya dengan kasih sayang. Pendidik setidaknya mengawali dengan kasih sayang terhadap muridnya. Proses mendidik harus dimulai dari Robbun, Malikinnas hingga Ilahinnas.

Benar katanya Pak Budi “Jangan sibuk sekolah hingga lupa sinau”. (Redaksi/Priyo Wiharto)