blank

Ada suasana yang berbeda pada Majelis Gambang Syafaat (25 Februari 2017) kali ini, yakni kehadiran Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib). Tampak kekangenan jamaah Gambang Syafaat kepada Mbah Nun, maklum, sudah setahun Mbah Nun baru datang lagi ke Masjid Baiturahman dalam forum Gambang Syafaat. Rupanya Mbah Nun juga merasakan kangen.

Mbah Nun pun menungkapkan rasa kangennya kepada jamaah Gambang Syafaat: “Sudah setahun saya tidak ke sini, itu pertanyaannya saya merasa gelo, kangen, bersalah, atau saya bersyukur. Kedua-duanya benar saya merasa bersalah, jamaah tidak pernah saya sambangi di lain pihak saya menyakinkan Anda secara cinta dan ilmu itu membuat Anda menjadi anak-anak yang lebih tangguh dari seharusnya, lebih pyar dari seharusnya.”

Kota Semarang diguyur hujan sedari siang, sisi basah itu masih terasa di tempat majlis. jamaah diajak mendiskusikan, membicarakan tentang ‘Diagnosa Kelumpuhan’, dua kata itu sering kita dengar di pusat kesehatan. Tema ini tak hanya sebatas membahas kesehatan dan penyakit. Pada Gambang Syafaat kali ini lebih mengarahkan diskusi pada hal yang lebih luas, yakni menghubungkan diagnosa dan kelumpuhan di ranah beragama, berindonesia, dan berpancasila.

Foto : Eka

Mas Muhajir menyampaikan prolog memancing jamaah untuk mendiagnosa dan menganalisa permasalahan di Indonesia untuk kemudian diajukan menjadi pertanyaan. Mas Muhajir menjelaskan bahwasannya diagnosa adalah kita meyakini bahwa kita saat ini dalam keadaan sakit, bukti kalau kita sakit adalah sakit fisik dan sakit jiwa/psikis. Sakit fisik  kita bisa lihat berita hoax. Hoax yang luar bisa di medsos, caci maki yang luar biasa. Psikis itu kita bisa saksikan dengan sikap mindernya kita, keminderan itu kita bisa lihat dari ketidakberanian kita mengolah Sumber Daya Alam.

Selanjutnya microphone berpindah tangan ke Gus Aniq. Gus Aniq mencoba memaknai suasana malam dan guyuran hujan. Bahwa hujan/jawoh adalah ja’rahmatullah, yakni kalau kita menamai hujan itu sebagai rahmah maka cara mendiagnosanya adalah bahwa Allah itu Maha Rohman dan Rohim. Maka pertama kali yang kita sering atau diharuskan untuk mengucapkan itu adalah Bismillahirrahmanirrahim. Kembali menengok tema Gambang Syafaat malam ini, Gus Aniq menjelaskan bahwa tema ini berangkat dari peristiwa-peristiwa atau realita yang kita hadapi sekarang ini. Nah, realita yang paling mengganggu di masing-masing individu saat ini adalah sebuah musuh bersama, musuh bersama kita itu sing jarene Kanjeng Nabi kui nafsu. Tapi sing paling memberontak, yang paling bisa menyusup di pikiran kita itu saat ini adalah kekerdilan dalam berpikir, kelumpuhan yang menjangkiti umat manusia saat ini. Cetek le’ mikir.

Mendiagnosa mengajak kita memiliki kesadaran serta membutuhkan aktivitas berpikir yang menyeluruh, tak bisa hanya berpikir searah. Maka pemaknaan diagnosa kelumpuhan berkaitan erat dengan bagaimana cara untuk sembuh dari kelumpuhan? Sudah ditemukan diagnosanya tapi apa obatnya? Kulludain dawaaun, segala penyakit ada obatnya. Sekarang yang kita bahas, obatnya apa?

Sebelum memasuki sesi selanjutnya, dalam suasana rindu di majelis Gambang Syafaat, Mas Jion mempersilahkan grup musik Swaranabya untuk menyatukan suasana dengan membawakan musikalisasi puisi. Dan setelah itu Kang Ali ikut bergabung bersama jamaah untuk bersama-sama merasakan kerinduan. Kang Ali mengungkapkan, “Sebulan kita berpisah serasa seabad.” Seraya mengajak jamaah untuk ikut urun rembug dalam majelis. Kang Ali menambahkan: Inilah kekhasan maiyah, yang di depan tidak melulu memberikan materi, tetapi justru ilmu-ilmu akan datang dari teman-teman sekalian. Diagnosa bagi saya itu bukan akhir, maksudnya orang melakukan diagnosa karena kebutuhan untuk melakukan tindakan atau eksekusi. Diagnosa tak hanya sekedar mendiagnosa.”

Kang Ali menambahkan, di dunia kesehatan diagnosa ada skala kecilnya: ada tes darah, dll. Ada lagi general medical check up, ditest semua variabelnya. Diagnosa memiliki skala kecil dan luas, dan kita harus memandangnya secara keseluruhan.

Untuk menguraikan diagnosa lebih lanjut, Mas Jion kembali membawa seluruh jamaah menyatu dalam alunan lagu yang kemudian dibawakan oleh Mas Wakijo. Uraian selanjutnya dilanjutkan oleh Pak Ilyas, Pas Saratri, dan Mas Helmi yang sebelumnya diamanahi oleh Mbah Nun untuk memulai majelis dengan pertanyaan dari jamaah yang kemudian akan dijawab Mbah Nun. Microphone mulai dilempar, dan yang menangkap pertama kali adalah Irfani Abdurrazak/Warno, kemudian secara estafet disusul pertanyaan oleh Arif Fahrudin dari Kendal, Lia dari UNNES, Aan dari Batang, Ahmad Nosi dari Jatingaleh, dan Seno dari Togosari.

Malam semakin larut, dan jamaah yang hadir semakin banyak. Kesempatan untuk menjawab pertama kali pertanyaan dari jamaah adalah Pak Saratri. Membahas pertanyaan dari Lia tentang apakah Allah memberikan hidayah kesemua orang? Sampai kapan Allah membiarkan seseorang melakukan maksiat? Menjawab pertanyaan terebut, Pak Saratri menerangkan sampai kapan Allah memberikan hidayah dan membiarkan orang-orang yang tersesat. Terserah Allah, jawab Pak Saratri. Allah sudah memberikan manusia petunjuk, yakni Al-Qur’an dan As-sunah.

Kemudian kita sudah diberikan tiga piranti yakni akal, hati dan syahwat. Ketiganya harus digunakan dan seimbang. Apakah saat ini kita pernah menggunakannya dalam posisi seimbang? Kalau tidak berarti kita bisa saja tersesat dan tidak mendapat hidayah.

Foto : Eka

Mbah Nun bergabung dengan para jamaah. Dari pertanyaan Lia tadi Mbah Nun menambahkann, kalau rumus naqlinya innakalatah diman ahbab tawalakinnallaha yahdi mayyasha. Kepada yang kamu cintai, Allah yang memberi. Caranya kita tahu orang itu dapat hidayah bagaimana? Langsung tanya kepada Allah. Mbah Nun menambahkan, “Menurut saya, kalau menurut khusnudzan saya semua dikasih, perbedaanya adalah kadar dan kemampuan setiap orang untuk mengakses hidayah berbeda-beda, bergantung softwarenya. Banyak manusia masih tidak bisa akses cepat terhadap hidayah, yang disebut dzikir itu bukan kamu umak-umik. Melainkan dzikir itu berusaha menemukan Allah di setiap hal, setiap pengalaman, dan setiap yang didengar.”

Selanjutnya pertanyaan dari Arif Fahrudin asal Kendal. “Saya ingin memperbandingkan sunnah dan wajib duluan mana?” Arif menjelaskan, menurut versi saya sunnah kui wajib, wajib kui sunnah. Kalau sunnah itu kan hal kecil, sedangkan yang besar berasal dari hal kecil-kecil. Besar itu mengikuti yang kecil. Masalah yang kecil bisa menjadi besar. Di sisi yang lain nikah itu sunnah, ketika kita menjalankan sunnah dengan sendirinya sunnah akan melahirkan kewajiban, seperti membiayai anak istri, dan lain-lain. Yang wajib belum tentu mengerjakan yang sunnah, sedangkan yang melakukan yang sunnah pasti mengerjakan yang wajib. Berkaitan dengan pertanyaan ini Pak Saratri menjawab, segala sesuatu itu empan papan, segala sesuatu bisa menjadi kebalikannya. Contohnya saat kita lapar, kita wajib makan. Ketika kita makan sate 20 tusuk, gule soto, sampai mutah-muntah itu jadi haram. Segala sesuatu yang wajib, yang baik akan jadi jelek ketika tidak pada tempatnya. Wajib, sunnah, dan lainnya bergantung tempatnya.

Kemudian Mbah Nun menambahkan tentang sunnah dan wajib, mana yang lebih dulu. Tentang waktu menyeluruh atau tahap kontekstual saja. Kawin itu sunnah, tetapi muncul kewajiban-kewajiban. Jika kita lihat menyeluruh, tidak cukup dengan dua atau lima matrik (wajib, sunnah, makruh, mubah, haram). Ada yang lebih tinggi dari itu, semua urusan ini karena Allah, ingin bercinta. Qul inkuntum tuhibunAllaha fattabi’uni. Duluan mana wajib atau sunnah. “Aku menjawab duluan cinta.” Jawab Mbah Nun.

Kan tidak mungkin kalau ada sunnah kawin kalau tidak ada cinta, dan tidak ada Nur Muhammad kalau tidak ada adrenalin cinta dari Allah sedang membara.  “Nek coro Meduro yo sok duluan sunnah yo sok duluan wajib, bergantung ruang dan waktu.

Selanjutnya pertanyaan Irfani Abdurrazak/Warno yang pertanyaannya langsung dijawab oleh Mbah Nun. Sebelumnya Warno memohon do’a kepada jamaah agar ibunya yang sedang sakit TBC tulang diberikan kesembuhan. Sama seperti apa yang sudah diutarakan pada tema dan prolog, Warno menanyakan sebenarnya Indonesia sedang didagnosis penyakit apa? Bagaimana cara menyembuhkannya, dan obatnya apa agar tidak makin semerawut. Pertanyaan keduanya ialah ditujukan kepada Mbah Nun. Ia menanyakan penyataan yang pernah disampaikan Mbah Nun “bila kecewa dengan negara jangan benci atau bagaimana, tetapi buatlah negara dalam hidupmu.” Ia ingin mengetahui apa maksud buatlah negara dalam hidupmu.

Mempertegas pernyataan mengenai Indonesia sedang didiagnosa kelumpuhan, kedangkalan dalam berpikir, Mbah Nun mengatakan, sekarang kita sedang terjebak dalam perang identitas, jadi begitu muslim wis padet muslim, begitu kafir wis padet kafir. Padahal menungso dalam kemuslimannya bisa kufur, dan di dalam kekufurannya bisa Islam. “Cuma pemahaman kita mengenai Islam, kafir, munafik, msuyrik itu distatiskan, sehingga kemudian kita mengkategorikan orang itu muslim, munafik, musyrik, nasionalis, islamis, iki 212, iki bhineka tunggal ika, sak pitutute. Jadi kita terjebak dalam perang identitas.”

Bersamaan dengan jamaah yang makin banyak, Mbah Nun mengatakan, jadi kuncinya  ini kita harus rodok ombo melihan sangkan paraning urip.

Sek to iki salah kawitane, informasi juga salah yang sampai ke Anda, mengenai hidup ini salah dan mengenai Islam juga salah. Mbah Nun mencontohkan bahwa, Maulid Nabi kok Rabiul Awal, Maulid Nabi ya Ramadhan tanggal 17. Kui wae yo ora cetho. Nek 12 Rabiul Awal kui Maulid Muhammad bin Abdullah, durung dadi Nabi. Nek Maulid Nabi berarti kenabian, kasusnya adalah kenabian, iqra bismikalladzi kholaq, wahyu pertama pada 17 Ramadhan. Maulid Nabi adalah Nuzulul Qur’an. Selanjutnya Mbah Nun berencana Maulidun Nur, makhluk Allah yang diciptakan pertama, dan itu tidak terikat tanggal karena belum dimulai tanggalan hijriyah dan masehi. (Redaksi-Malik)