blank

Ada banyak masalah yang menimpa negeri ini. Berita-berita di televisi, media cetak dan media daring terus mengabarkan persoalan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Sampai pertengahan tahun ini perhatian kita mengarah pada permasalahan pendidikan. Permasalahan ini timbul dari kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Muhajir Effendi yang menerapkan kebijakan bernama Full Day School (FDS). Sebuah kebijakan yang mengharuskan sekolah harus berlangsung sampai sore agar siswa bisa belajar maksimal di sekolah. Jam sekolah bertambah, begitu pula dengan hari liburnya: Sabtu dan Minggu. Pada tahun ajaran baru nanti sekolah-sekolah di Indonesia lewat kebijakan Mendikbud akan menerapkan kebijakan FDS dan sekolah lima hari.

Pada edisi 25 Juli 2017, Forum Maiyah Gambang Syafaat (GS) mengambil tema yang berkaitan pendidikan. Pemilihan tema ini juga menandakan bahwa kita juga sebentar lagi akan mengantar anak, adik, ponakan, saudara, masuk ke ajaran baru. Pemilihan ini dirasa tepat jika dikaitkan dengan masalah-masalah yang teraktual.

Ada banyak masalah yang sudah diutarakan. Maksud memilih tema pendidikan tidak untuk mengumpulkan massa agar memberi protes keras kepada kebijakan Mendikbud. Atau menggiring opini untuk memusuhi kebijakan pemerintah. Pada pertemuan ini jamaah Gambang Syafaat berusaha mencari dan menemukan hakikat pendidikan dan sekolahan. Maka tema yang disodorkan pun terlihat agak “nakal”, Mendidik Sekolahan.

Lho apa bisa sekolah dididik? Siapa yang mendidik? Mengapa yang dididik sekolah? Mukadimah yang digarap Kang Muhajir dalam mengantar jamaah memasuki tema ini sangat membantu memahami bab-bab yang akan dibicarakan.

Pertemuan kali ini berusaha merumuskan makna mendidik dan bersekolah. Pembicara demi pembicara bergantian urun gagasan untuk menanggapi makna pendidikan dan sekolah yang pengertiannya sudah terlampaui ekonomis. Pemahaman yang sudah mengendap di masyarakat adalah orang sekolah tinggi untuk mendapat pekerjaan yang bergaji tinggi. Hakikat ilmu dan pengetahuan sudah tereduksi oleh nalar pekerjaan yang menghilangkan niat kemuliaan mencari ilmu untuk merawat kewarasan hidup.

”Setidaknya ada lima hal bagi saya apa guna bersekolah dan berilmu,” kata Kang Ali membuka pembicaraan Kelima hal itu menurut Kang Ali, “Ilmu untuk dimengerti, dipraktikkan, membentuk kepribadian, dan ditebarkan efeknya.”

Kalau ada seorang siswa kelas tiga Sekolah Dasar (SD), kata Kang Ali, disuruh ibu gurunya untuk mengucapkan assalamu’alaikum kepada teman, guru, dan saudara sesama muslim. Berarti pada tahap itu si siswa baru mempraktikkan ilmunya. Kalau si siswa sudah bisa mengolah informasi atau pengetahuan bagaimana tata cara mengucapkan salam kepada sesama muslim, dan ia mengucapkan kalimat itu secara spontan tanpa diperintah ketika bertemu orang sesama muslim. Berbarti ilmu itu sudah membentuk kepribadian. Dalam bahasa Kang Ali, “Ilmu itu sudah mbalung sumsum.”

Ilmu atau sekolah, menurut Kang Ali, bisa dimaknai dalam lima hal. Orang bersekolah atau mencari ilmu semula hanya untuk mengerti saja, kemudian setelah mengerti, si pencari ilmu akan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baru kemudian ada tahap-tahap kematangan bahwa ilmu itu bisa membentuk kepribadian dan kita bisa menjadi orang yang menebar manfaat ilmu.

“Oh ya itu baru empat,” kata Kang Ali, “saya tambahkan satu lagi biar pas lima.”

Setelah menguraikan empat hal tentang ilmu. Kang Ali menambah satu hal lagi untuk mengepaskan hakikat ilmu menjadi lima.

“Yang terakhir, ilmu itu iseng.”

Apa makna iseng? Ya iseng, kata Kang Ali. Keisengan tidak bisa didefiniskan. Sebab iseng itu ya definisi dari iseng. Tidak ada pengertiaannya. Orang iseng karena dia memang iseng. Orang iseng tidak karena dia kurang waras atau terlampau pintar, tapi ya memang karena iseng.

Dari Kang Ali kita mendapat pemahaman bahwa ilmu atau sekolah pada mulanya adalah lima hal. (Redaksi/Yunan)