blank

25 juni 2017 kemarin adalah pengajian rutin Gambang Syafaat Semarang namun kali ini Gambang Syafaat melebur menjadi Fitri di bulan penuh dengan ke Fitrian semua umat merayakan atas semua rutinitas yang sudah di jalani.

Tahun kemarin sehabis perayaan Idul Fitri Gambang Syafaat mengangkat tema Hari Raya Meria(h) menceritakan tentang hingar-bingar kegembiraan setiap umat muslim yang merasakan hari kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa. Sore hari menjelang buka puasa terakhir anak-anak berhamburan ke masjid untuk membunyikan beduk untuk rasa kegambiraan dalam menyambut malam takbir tradisi ini dilakukan di kampung-kampung atau di desa dimana semua elemen menyambutnya dengan berziarah dan setelah berbuka puasa mulai perayaan takbir musal keliling kampung menyerukan takbir Hari kebesaran yang menggetarkan dalam jiwa pada setiap orang yang membunyikannya.

Semua berseru dalam masjid dan musola musola di kota sampai kepelosok desa semua seperti kerinduan yang meluap sehingga semua di tumpahkan dalam kumandang kumandang keagunganNya. Tradisi seperti ini sudah lama dan melekat dalam diri anak cucu bangsa ini, seakan semua itu menjadi kerinduan yang sedang ditunggu tunggu mulai dari yang jauh ingin rasanya pulang ke kampung halaman merayakannya dan berkeliling kampung untuk meminta maaf dan saling memaafkan.

Semua orang menghayati hari raya di kedalaman hati sanubari mereka masing-masing. Semua telah mengerti makna hari raya, sehingga tidak butuh peristiwa untuk membungkusnya. Sunyi …

Diam-diam orang-orang rindu mengalami makna dalam peristiwa, tidak sekedar penghayatan. Rindu kepada ogo ogo (orang bali menyebutnya) yang diarak keliling, bagaikan penghuni semesta semuanya bertasbih, rindu kepada bunyi petasan yang seolah-olah itu adalah ungkapan bahwa uang/dunia harus dibakar, rindu kepada antrian bagi-bagi angpaow yang tanpa sengaja membuat cita-cita sukses agar bisa berbagi. Tapi tidak ada yang berani memulai, sebab takut Riya, sebab takut mubadzir, takut sombong.

Namun sesuai tradisi Gambang Syafaat dan Maiyah pada umumnya adalah tradisi berpikir dan bertanya. “Haruskah kita bergembira di saat idul fitri? Hari raya memang selayaknya bergembira, tetapi ingat pada saat itu setan-setan dibebaskan dari kekangan untuk lagi menggoda kita. Setan yang selama satu bulan penuh di belenggu, pada saat itu pula di bebaskan. Apakah kita harus bergembira atas peristiwa itu.

Puasa adalah semacam sekolah, yang seluruh tingkah kita diawasi, dibatasi oleh Allah, sedangkan lebaran? lebaran adalah kita disuruh memilih, memilih untuk melanjutkan tradisi ibdah yang sudah dibentuk selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan atau melupakannya. Jadi jika kita tidak hati-hati maka lebaran, atau bada bisa menjadi jebakan. Lebaran dari kata lebar (usai) bada atau bakda artinya juga usai bukan saat untuk juga selesai tradisi ibadah kita, seperti sholat malam, menahan diri, tadarus, dan lain-lain.

Dan puasa adalah semacam workshop, pengondisian agar kita melakukan yang semacam puasa di bulan-bulan berikutnya. Puasa adalah laku hidup yang harus dilakukan di bulan-bulan yang lain. Maiyah menganal tiga hal yang sebaiknya dihayati, tandur, pasa, shadakah. Apa puasa itu? yaitu menahan diri atas kekuasaan yang dipinjami Tuhan kepada kita untuk tidak digunakan semau gue. Kekuasaan itu harus digunakaan atas pertimbangan Allah melihat kita, dan kita melihat Allah. Dan puasa adalah cara kita unutk menjadi makhluk bertaqwa. Mari kita berpuasa di saat lebaran.