blank

Dalam rangka ikut merayakan ulang tahun Kenduri Cinta yang ke-17, 11 penggiat Gambang Syafaat Semarang berangkat ke Jakarta. 11 orang tersebut adalah Kang Ali Fatkhan, Gus Aniq, Ipnu, Zaul Haq, Huda, Joko, Jhoni, Kang Nasir, Kang Ronny, Yunan, dan saya Muhajir.

Menggunakan mobil Hiace, kami berangkat dari Semarang pada Kamis (15/6) malam pukul 22.00 WIB dan melalui beberapa rintangan. Saat sampai di Batang terjadi kemacetan yang parah sehingga perjalanan tersendat. Pukul 03.30 WIB (16/6), kami istirahat di pom bensin di Pemalang sambil menikmati makan sahur sekaligus melaksanakan sholat subuh.

Perjalanan berlanjut menyusuri jalan tol yang lengang hingga akhirnya gedung-gedung menjulang tinggi menyambut kami. Jalan-jalan besar yang sesak oleh kendaraan tampak di depan kami. Tujuan pertama kami adalah silaturahmi ke kediaman guru kami, Syeikh Nursamad Kamba, pukul 09.30 WIB (16/6) kami sampai ke kediaman beliau. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersih. Beliau mengenakan koko putih dan sarung hitam polos.

Dialog dimulai oleh Kang Ali Fatkhan, pembicaraan dimulai dengan saling menanyakan kabar, bertukar kegembiraan, pengalaman beliau bergaul dengan Mbah Nun, hingga akhirnya mengerucut pada Sirah Nabi terutama buku yang pernah beliau terjemahkan berjudul Telaah Historis Atas Sirah Nabi Muhammad SAW, Sejarah perjuangan, peperangan dan Kesehatan yang beliau terjemahkan dari buku Dirasat Fi Al-Sirah Al-Nabawiyah karya Prof. Husein Mu’nis.

“Belasan tahun saya belajar di Kairo, di Al Azhar. Waktu yang cukup lama. Sekian kitab saya baca malah menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Dan suatu malam di Kairo, waktu saya mengundang beliau (Mbah Nun) dalam sebuah acara kemudian melaksanakan dialog seluruh pertanyaan saya terjawab. Dulu saya mengira Cak Nun ini adalah seniman, budayawan biasa. Tetapi ternyata lebih dari itu.” Demikian disampaikan Syeikh Nursamad Kamba.

“Pada acara Gambang Syafaat kemarin Mbah Nun menghimbau kepada jamaah untuk membaca Sirah Rasul yang diterjemahkan oleh Syeikh Nursamad Kamba. Dan saya sudah membacanya. Membaca itu saya merasa lebih memahami Maiyah, apa-apa yang diperjuangkan Mbah Nun, cara-cara yang digunakan meneruskan apa yang dilaksanakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad.” Saya mengajukan dialog.

“Saya juga mulai memikirkan ulang tentang pemahaman keislaman saya setelah membaca buku ini. Buku ini meneliti tentang sejarah hidup Rasulullah tetapi mencoba lepas dari pengaruh mazhab-mazhab.”

Karena menurut beliau dari mazhab-mazhab inilah mulai Islam ditarik keurusan politik dan menjadi keras. Misalnya saja dalam sebuah pemerintahan ketika yang memimpin kelompok yang memegang mazhab ahlussunnah maka praktik beragama syah diberangus dan dianggap melanggar hukum, demikian sebaliknya.

Saya bertanya, sekarang ini banyak muncul Sirah atau sejarah Muhammad, yang ajarkan di Madrasah Diniyah misalnya menggambarkan jika masa kecil Rasulullah Muhammad adalah penuh penderitaan, miskin dan terlunta-lunta, hal ini tidak masuk akal karena Muhammad meskipun yatim piatu tetapi diasuh seorang kakek kemudian paman yang kepala suku. Sekarang juga banyak para orang barat yang tidak mengimani Muhammad tetapi menulis sejarah nabi, motif mereka perlu juga diwaspadai. Bagaimana memilih sirah nabi yang baik agar bisa menjadi tauladan.

Syeikh menjawab, bahwa jangan hanya membaca buku. Kemudian beliau bercerita tentang pengalamannya ketika akan mempelajari seorang tokoh tasawuf. Dan Mursyid itu menyuruh mempelajari secara langsung bersamanya, dirumahnya, dan bagaimana mursyid itu hidup. Jangan mempelajari bukunya tetapi juga kehidupannya secara langsung.”

Kemudian Syeikh Kamba melihat sosok mursyid yang dikelilingi oleh murid-muridnya, terlihat dekat tetapi tetap berwibawa. Beliau berpendapat beginilah cara Nabi berkehidupan. Hal yang sama disaksikan keteka bertemu Mbah Nun.

Satu jam lebih kami berbicang dengan beliau. Sekira pukul 11.00 WIB kami pamit. Sebenarnya beliau mempersilahkan untuk istirahat di rumahnya hingga buka nanti, tetapi kami yang udik ini ingin jalan-jalan melihat-lihat kota. Sholat Jumat kami laksanakan di Masjid At-Tin, dekat Taman Mini Indonesia Indah. Kami melewati tugu selamat datang, bundaran HI, tempat-tempat yang biasanya hanya kami saksikan di layar televisi.

Sekira pukul 16.00 WIB (16/6) kami sampai di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat dilaksanakannya acara Maiyahan di Jakarta, Kenduri Cinta yang nanti malam diperingati ke-17 tahun usianya. Di kamar hotel (hotel Alya Cikini, tempatnya seberang TIM) itu kami disambut dengan hangat, bertegur sapa dengan para penggiat Kenduri Cinta, ada Gandhi, Fahmi Agustian, Sir Ibrahim dan lainnya, dari kamar hotel di lantai empat itu kami bisa menyaksikan persiapan Kenduri Cinta. Panggung ditata, tikar digelar, pengeras suara dibunyikan.

Di hotel tersebut kami mandi, dan leyeh-leyeh sejenak sebelum acara Kenduri Cinta dilaksanakan setelah sholat tarawih. Benar tepat setelah tarawih acara Kenduri Cinta langsung dimulai. Sebagaimana acara-acara Maiyah di tempat-tempat lain, Kenduri Cinta dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Suci Al Quran, Sholawatan.

Sesi pertama, moderator memanggil perwakilan-perwakilan dari simpul-simpul yang datang pada malam itu. Gambang Syafaat diwakili oleh Kang Ali Fatkhan. Dia bercerita tentang ketakjuban seorang anak bernama Mas Bro yang mencari-cari siapa faktor yang paling menentukan keberhasilan dalam sebuah pementasan wayang. Mulanya ia mengira dalang, ternyata dalang mengelak, ia tidak mengakui bahwa ia faktor. Menurut dalang faktornya adalah sponsor, ternyata juga bukan sponsor, bukan sinden. Dan ternyata semua faktor, termasuk penonton adalah faktor karena tanpa penonton sebuah pementasan hanya semacam latihan. Dalam suasana inilah menurut Kang Al Fatkhan Kenduri Cinta tumbuh dan bertahan hingga sekarang, karena seluruh komponennya tidak ada yang merasa paling menjadi faktor.

Mbah Nun menyapa jamaah pukul 23.00 WIB. Ada tamu yang akan datang pada malam hari ini. Banyak lagu yang akan didendangkan oleh Kiai Kanjeng. Lagu Mbah Surip yang berjudul “Tak Gendong” yang pernah mewarnai Kenduri Cinta juga dilantunkan. Namun pada tulisan ini kami tidak akan menulis reportase tentang peristiwa yang terlaksana pada tanggal 16 Juni ini karena teman-teman Kenduri Cinta pasti sudah ada yang bertugas melaksanakannya.

Sekira pukul 03.30 WIB (17/6) acara selesai. Kami sahur dengan hidangan yang sudah disediakan, sholat subuh kemudian tidur. Pukul 10.00 pagi kami baru bismillah menuju Semarang. Perjalanan yang tidak mudah. Kemacetan terjadi di banyak tempat seperti Pemalang, Pekalongan, dan ada pohon tumbang di Alas Roban. Sempat mampir cari oleh-oleh telur asin di Brebes, tahu murni di Tegal. Di dalam mobil untuk mengatasi kebosanan macet kami sholawatan (jiah gayane), dan karoke lagu-lagu khas pantura. Buka sitik jos. Honda.

Suasana lebaran rupanya mulai semerbak. Pukul 12 malam (18/6) kami memasuki Semarang, melewati Masjid Baiturahman yang biasanya Gambang Syafaat kami selenggarakan, dan terpaksa bulan ini libur karena tanggal 25 bertepatan dengan Malam hari Idul Fitri. (Redaksi-Muhajir Arrosyid)