blank

Di Gambang Syafaat, sering kedatangan tamu tidak terduga, pada Gambang Syafaat edisi 25 Juli 2017 tamu tidak terduga itu adalah Pak Uki Bayu Sedjati dan Pak Eko Tunas. Keduanya adalah sastrawan, keduanya adalah sahabat Mbah Nun. Bersama pembicara lain, mereka menemani Jannatul Maiyah Gambang Syafaat yang pada malam hari itu mengangkat tema ‘Mendidik Sekolahan’. Beliau berdua datang bersamaan saat Kang Nasir mendendangkan lagu “Semau-Maumu” di iringi Danu. Beliau juga sempat mendengarkan penampilan puisi Mas Nugroho yang membaca puisi berjudul “Awasi Maiyah”.

Pak Uki dalam kesempatan tersebut juga mengulas tentang pendidikan. Menurutnya sekolah dan pendidikan sangat berkaitan. Hanya saja menilik paparan pembicara sebelumnya sekolah yang sudah banyak dibicarakan terkotak pada bentuk dan sistem. Maka muncul istilah sekolah, pesantren, madrasah dan lain sebagainya. Pak Uki menambahkan bahwa sekolah pertama atau pendidikan pertama adalah orang tua terkhusus ibu. Sejak janin ada di rahim ibu, sejak Allah menitipkan nyawa pada jasad janin tersebut disinilah mulai pendidikan. Dalam ibulah pendidikan pertama, dalam diri ibu terdapat kasih sayang.

Yang lain-lain seperti SD, SMP, SMA, kuliah, pesantren hanyalah pelanjutan-pelanjutan dari kasih sayang dan pendidikan yang sudah dimulai dari Ibu dan Bapak kita. Kita sersekolah sejak janin hingga kita meninggal.

Meluaskan bahasan pada malam itu Pak Uki membahas tentang film hingga sastra. Menurutnya kita dalam berfilm dan bersastra perlu kembali ke tradisi. Kembali ke bahasa ibu. Ia bercerita dua film dengan bahasa ibu yang cukup mencengangkan berjudul ‘turah’ yang dibuat oleh teman-teman seniman Tegal dan film berjudul ‘ziarah’ yang dibuat oleh seniman Yogyakarta. Bahkan film ‘ziarah’ memenangi kejuaraan film internasional. Mengapa demikian? Karena bahasa ibu sudah menyatu dalam diri masyarakatnya, jadi tidak begitu susah mencari pemeran. Film itu dibintangi oleh orang tua berumur tujuh puluh tahun. Bayangkan, seorang nenek berumur tujuh puluh tahun bermain film.

Melanjutkan bahasan tentang ibu maka kita ingat ibu pertiwi yang sekarang sedang mengalami banyak gejolak, politik, sosial, budaya. Pak Uki mengajak kita kalau menyanyikan lagu Indonesia Raya jangan hanya stanza satu saja tetapi juga stanza dua dan tiga. Jika kita menyanyikan lengkap dari stanza satu hingga tiga kita akan memperoleh kesadaran betapa lengkapnya bangsa kita. Menarik ke konteks pendidikan, Pak Uki mengajak kepada yang hadir untuk membangun diri masing-masing dengan bahasa ibu yang dimiliki.

Sela antara Pak Uki dan penampilan monolog Pak Eko Tunas, Wakijo dengan gitarnya mengajak yang hadir untuk bersholawat. Suasana khusuk tercipta, menyapa sang junjungan, kekasih Allah, Rasulullah.

Setiap kehadirannya Pak Eko Tunas selalu menghadirkan kegembiraan. Tingkah polahnya yang sederhana, cuap-cuapnya sebelum membacakan puisi selalu disambut tawa oleh hadirin. Saat beliau mau baca puisi melalui telepon genggamnya, beliau bilang, “Ono jaringan ora iki?” Namun demikian pesan-pesan juga diberikan kepada kami anak-cucunya. “Sabar ya? Kalau Anda bersabar berarti Anda sudah berislam karena Islam mengajarkan kesabaran.” Demikan ia sampaikan sambil berusaha membuka HP-nya.

Hari sudah beranjak memasasuki tanggal 26 Juli 2017. Pak Eko Tunas berdiri maju menghampiri hadirin. Beliau berdiri di antara kerumunan dan membacakan puisi berjudul “Penyair Kopi.”

Penyair menuliskan rasa bukan kata. Sebagaimana kopi bukan yang di cangkir, tapi saat kau menghirupnya itulah kopi. Ibaratnya kopi di cangkir itulah kata, tetapi saat kau merasakannya itulah puisi. Terlebih saat kau meresapkan nikmatnya dari Tuhan……

Terlebih dalam puisi itu Pak Eko mengungkapkan bahwa penyair harus lebih percaya pada rasa dari pada pada otak dan hati, “Karena otak banyak dijual di warung padang.”

Tentang sekolah, Pak Eko Tunas bilang, seluruh Nabi tidak ada yang bersekolah. “Lha ngopo koe do sekolah. Sudah sekarang yang sekolah dan kuliah keluar. Tapi anakku yo sekolah kabeh, yo lulus kuliah kabeh,” uangkapnya enteng. Demikianlah hadiah manis dari dua sahabat Mbah Nun yang malam itu hadir menyodakohkan ilmunya kepada kita semua. (Redaksi/Hjr)