blank

Gambang Syafaat edisi Pebruari 2017 terasa begitu indah dan lengkap karena dirawuhi oleh Mbah Nun. Hari itu, Boja diguyur hujan sejak Maghrib, sampai selepas Isya’, ‘tamu dari langit’ masih belum berhenti, saya nekat melaju ke Masjid Baiturahman Semarang -tempat dilangsungkannya pengajian Gambang Syafaat- karena tidak ingin telat, hujan adalah rahmat, maka tidak menjadi soal jika tekad sudah membara.

Tiba di halaman Aula Masjid Baiturrahman, tempat acara berlangsung, sudah banyak Jamaah Maiyah yang datang. Hampir seluruh ruang telah terisi, saya duduk bergabung dengan jamaah lain. Ada seorang perempuan datang jauh-jauh dari Madiun simpul Waro Kaprawiran, menurut ceritanya berangkat dari Madiun pukul satu dan sampai Semarang pukul lima sore. Saya mbatin “Ampuh sekali perempuan ini”.

Sesi diskusi pun dimulai, ini adalah sesi yang paling saya tunggu, sesi yang bisa membuat dahaga intelektual saya terpenuhi. Di Maiyah, yang intelektual tidak mesti akademisi, tukang becak diakui dan boleh melakukan dekonstruksi pemahaman, sekaligus mengambil keputusan berdasarkan olah pikirnya.

Sebuah pertanyaan dari salah satu jamaah, “Wajib dan sunah duluan mana?” Penanya membuat tamsil, nikah itu kan Sunnah, tapi memunculkan kewajiban-kewajiban, apakah itu bisa dibuat penyimpulan bahwa Sunnah yang duluan.

Sebelum direspon oleh Mbah Nun, penanya diberi pancingan-pancingan, apakah ada peristiwa yang sebaliknya, kewajiban dulu kemudian Sunnah belakangan.

Di benak saya, Mbah Nun akan menjawab dengan lima matrix hukum fiqih, bahwa segala sesuatu itu bergantung illatnya, bergantung konteksnya.

Tapi dengan bijak beliau menjawab, duluan cinta. Cintalah yang memunculkan apakah ini haram atau Sunnah atau wajib. Cinta Allah yang melandasi diciptakannya alam semesta dan segala peraturan/sunnatulloh-nya.

Saya kemudian berfikir, jika engkau sudah cinta, engkau akan menentukan ini yang harus lakukan ini tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, ketika engkau mencintai anakmu, engkau menentukan aturan kepada anak-anak mu, itu dilandasi oleh cinta, bukan muncul begitu saja. Bisa jadi anak-anak mu belum paham, sehingga hanya memandang sisi boleh tidaknya saja. Sebagaimana kalau engkau berpacaran, jika sudah cinta, sepahit dan sesukar apapun permintaan sang pacar, engkau akan berusaha menuruti.

Jadi, saya simpulkan bahwa yang perlu ditumbuhkan adalah kesadaran bahwa Allah mencintai kita, maka larangan dan kewajiban dari Allah adalah bentuk cinta Nya. Dan kita harus memupuk rasa cinta kepada Allah.

Jika cinta sudah tumbuh, ekspresi yang tampak bisa sangat luar biasa. Hujan bukan halangan untuk melingkar di forum pengajian yang dirindukan. Jarak tidak menjadi alibi untuk tidak memandang wajah orang yang membuat kita lebih dekat kepada Allah. Tidak berarti cinta membutuhkan pengorbanan, tetapi pecinta sejati melakukan pelayanan sebagai manifestasi. Manifestasi cinta bisa saja sebentuk cambukan, bisa juga sebentuk belaian.

Sebuah quote dari Mbah Nun : “Penindas dan yang tertindas sama-sama kita cintai. Hanya saja caranya harus berbeda, kaum tertindas kita cintai dengan santunan dan sumbangan perubahan, sedangkan kaum penindas kita cintai dengan teguran atau mendongkelnya”

Jadi, cintalah hulunya.. yuk kita membangun cinta di Maiyah.