blank

Mumpung masih segar di ingatan dan semangat menggebu, kutuliskan sekalian wejangan Bapak Budi Maryono di Gambang Syafaat edisi 25 November 2017 semalam. Beliau kucari-cari sedari acara dimulai saat Gus Mohammad Aniq memaparkan pengantar. Rupanya tak tampak. Segera kutuju rumah maya beliau di fesbook yang siangnya mengunggah tiga poster acara. Berspekulasi akan hadirnya, aku pasrah saja.

Wayang tergelar, kulihat Gus Aniq rehat sejenak di ruang transit. Pak Ilyas menemani sang putri melakonkan wayang berjudul “Semar Mbangun Kahyangan” ditemani Mas Mujiono Jion di sebelahnya. Adapun kuperhatikan Mas Muhajir Arrosyid bersandar di tembok memperhatikan dengan khusyuk, termasuk saat matanya terpejam untuk meresapi perbincangan koplak antara Punokawan dan para penguasa kubu Pandawa. Ketika mataku ikut berat, terlihatlah Gus Aniq tergelak dan sudah siap memasuki area pembicara lagi.

Betul saja, rupanya ada penampakan luar biasa di belakang beliau. Sosok ini berjaket jeans, bersarung, di lehernya berkalung surban putih, dan tak luput ini yang unik, peci hijau bertengger di kepala. Topi yang seringkali menemani beliau rupanya tergantikan peci. Jadilah diriku menahan tawa memperhatikan guru spiritual dari pengalaman bagi lingkaranku itu. Sebuah anomali bagi kostum sastrawan senior ini.

Konsentrasi kukembalikan lagi dengan mencoblos lantas menyerutup sekotak Neskape. Maaf kepada pengurus Gambang Syafaat sebab kopi panas ala GS tertumpah saat aku sibuk mencari cabai hijau di dalam plastik berisi gorengan. Posisi duduk iftiroshy kebiasaan Mbah Nun kulakukan demi mendapat fokus. Sudah siap me-livetweet-kan, eh beliau memberikan ke Mas Agus dari Gugur Gunung. Nanti akan kutuliskan di tulisan berikutnya tentang bahasan khas Jawa ala Mas Agus.

Om Budi mulai bahasan dengan merefleksi saat beliau bertakziah ke Blitar beberapa hari lalu. Harap maklum, beliau ini pakar dalam hal mencari hikmah di balik peristiwa. Bahkan seekor anak ayam yang tertindas di jalan raya pada suatu pagi saja beliau maknai sangat dalam. Padahal kala itu usia beliau masih tahap remaja. Nah, dalam perjalanan via mobil tadi saat takziah, beliau mempertanyakan kenapa manusia zaman sekarang begitu beriman pada Googel maps Bahkan tanpa keraguan sedikitpun pada situasi-kondisi jalan, si pejalan woles. Padahal belum tentu tepat sampai tujuan.

Dari pertanyaan yang berkecamuk dalam benak itulah, beliau menikmati perdebatan anak muda yang menyupiri dan navigator di sebelahnya. Sampai pada satu titik di mana dikiaskan dengan sebenarnya manusia hidup ini ikut panduan siapa. Quran-Hadis-Ijma-Qiyas jelas melandasi berbagai panduan ala fikih lintas mazhab, tapi kenapa seringkali malah tak dipakai? Karena mbulet, beliau ambil alih setir dan menuju tujuan tanpa berbekal iman pada Google map. Bermodal papan warna hijau yang umumnya tertutupi ranting pohon, itupun seringkali ‘kecele’ sebab sudah fokus eh ternyata reklame ‘Oppa’, ia meraba tujuan dengan jalan zaman old.

Jika manusia sekarang ditemani ponsel pintar saat berpetualang, lain dengan para nabi. Mereka hanya ditemani iman pada Allah, Tuhan Yang Maha Mem-bebrayani, Maha Menemani. Prinsip bahwa Ia lebih dekat dari urat leher demikian kencang dipegang. Hingga seorang abege bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib ikhlas dibantai saat sembunyi dalam selimut menyamar sebagai nabi. Iman yang tak neko-neko sebab langsung kepada Gusti Allah, bukannya pada barisan satelit di luar atmosfer Bumi.

Lantaran Gusti Allah senantiasa menemani, akan terasa tidak nyaman saat diri kita hobi berdebat. Selain menyepelekan fungsi habbluminannas sebagai wujud berbagi manfaat, juga bentuk meniadakan kebenaran yang dikaitkan dengan habbluminallah. Apalagi jika yang diperebutkan adalah kesepakatan tafsir atas sesuatu yang sumbernya sama. Mempermasalahkan selera semacam itu hanya akan buang-buang energi, waktu, dan parahnya, silaturahim. Maka seyogyanya hindari perbuatan sia-sia yang kini malah tengah naik daun itu.

Ciri khas lain dari penulis novel kondang ini adalah kemampuan berceritanya yang penuh hikmah. Termasuk saat beliau berbagi tentang ‘pengalaman spiritual’ ketika Tuhan begitu akrab disapa dengan ‘Nda’. ‘Nda’ untuk Tuhan yang penggunaannya digugat oleh Pak Eko Tunas itu justru menjadi penanda kemesraan bagi Om Budi. Hubungan yang seyogyanya sering dibiasakan oleh siapapun pejalan sunyi. Awalnya berat, tapi pepatah ‘alah bisa karena biasa’ juga banyak bukti nyatanya.

Memang tiap orang punya pola komunikasi tersendiri dengan Tuhan. Tapi alangkah lebih baiknya jika tingkatannya dinaikkan ke yang lebih personal dan mendalam. Tuhan dilibatkan dalam setiap keputusan terkecil sekalipun. Tentu juga harus belajar untuk peka menangkap tiap hikmah di tiap kejadian. Harus selalu zikir atau ingat bahwa Tuhan tak menciptakan sesuatu dengan percuma. Jadi, selamat berakrab ria dengan Maha Cinta!.”