blank

Aku mendapatkan cerita Askhabul Kahfi pertama kali dari bapakku sendiri. Dulu waktu kecil, dalam jangka waktu seminggu sekali di depan anak-anak kampung Bapak selalu mendongeng cerita-cerita tentang keislaman, entah itu cerita nabi, sahabat nabi, ataupun cerita tentang para wali allah. Suatu ketika Bapak bercerita tentang kisah Askhabul Kahfi. Diceritakanlah oleh Bapak tentang tujuh pemuda dengan seekor anjingnya.

Pemuda ini hidup di sebuah masyarakat yang menyembah selain Allah. Seorang raja yang kejam memaksa mereka untuk berpaling kepada Allah. Berbagai usaha dilakukan oleh tujuh pemuda itu agar dia bertahan hidup dengan memegang keimanan. Ia juga kesana kemari mengajak penduduk untuk tetap bertahan dengan keimanannya. Usahanya tidak berhasil, ia hanya mendapatkan satu pengikut yaitu seekor anjing. Anjing inilah yang akan ikut masuk surga kelak.

Kemudian Allah menidurkan tujuh pemuda itu di dalam gua. Dijaga oleh seekor anjing. Ditidurkan atau disembunyikan Allah di dalam gua agar terlindung dari pemerintahan yang zalim. Setelah 370 tahun tertidur ketujuh pemuda itu terbangun. Mereka keluar gua dan menjajakan uangnya yang ternyata sudah tidak laku. Kehidupan masyarakat juga sudah baik seperti yang mereka inginkan.

Waktu mendapatkan cerita itu pertama kali, saya masih usia Sekolah Dasar. Saya belum mendapat hikmah dari cerita itu. Saya hanya mendapatkan hikmah untuk tidak benci kepada anjing. Dulu kami memang benci kepada anjing, mengingat air liur anjing najis. Terkena olehnya harus bersuci menggunakan pasir dan dibasuh tujuh kali.

Di pengajian Gambang Syafaat kemarin, (25/12/2016) di emper Masjid Baiturrahman Semarang kami mendapatkan penjelasan yang baru dari Habib Anis. Ceritanya sama tetapi beliau memberi perspektif baru. Menurutnya dalam cerita itu Allah ingin menunjukan kepada para pemuda pendakwah itu dan juga kita bahwa tanpamu keadaan akan berubah jika Allah menghendakinya. Allah bisa menghendaki perubahan melalui diri kita, melalui orang lain, atau melalui dirinya sendiri tanpa perantara. Jadi ketika kita berdakwah, kita jangan merasa menjadi faktor apalagi yang paling sehingga jika tidak berhasil resah dan marah dan jika berhasil menepuk dada seolah jika tidak kita yang melakukan dakwah tidak berhasil.

Tetapi bukan kita tidak melakukan apa-apa, dengan keyakinan Allah akan berkehendak. Kita harus tetap berdakwah tetapi tidak marah dan resah jika belum berhasil dan tidak menepuk dada dan merasa menjadi faktor jika dakwah kita berhasil. Penyakit merasa gagal dan menepuk dada ini memang sering hinggap dalam diri para pendakwah. Penyakit ini sering malah merusak keimanan, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama muslim. (Muhajir Arrosyid)