blank

Om Budi pun menyambung tema dengan kisah-kisah pribadinya dengan sarat hikmah didalamnya. Kali itu Om Budi bercerita perjalanannya takziah ke Blitar beberapa waktu lalu. Mendengarnya seakan sedang dibacakan novel, beliau bisa mendeskripsikan detail ke jamaah seolah jamaah berada dalam situasi itu.

Om Budi menceritakan ketika nyetir dalam perjalanan itu. Karena mulai perjalanan ke Blitar dari Semarang berangkat sudah jam sebelas malam, di tengah perjalanan sudah mulai tidak kuat karena ngantuk, maka anaknya menawarkan kawannya untuk menggantikan. Akhirnya Om Budi tidur di belakang. Tidak lama tertidur beliau terbangun mendengar perdebatan di depan karena arah petunjuk googlemap’. Sampai akhirnya beliau semakin khawatir dengan sopir yang di depan nyetir sambil melihat ponsel karena yang menemani berdebat tadi pun tidur. Maka Om Budi meminta setir kembali. Om Budi mengembalikan ke jalan besar ikut petunjuk besar di jalan.

Dalam perjalanan itu beliau mempertanyakan kenapa begitu yakinnya kita kepada ‘gugelmep’? Kemudian merefleksi diri sendiri, bahwa sebenarnya orang hidup bebrayan itu sudah ada petunjuknya. Sebagai orang Islam misalnya punya Quran, tapi apakah dibuka Quran itu ketika akan belok atau lurus? Sepertinya tidak, sepertinya semua diterjang saja. Lalu selama ini hidup arahnya ikut petunjuk siapa? Padahal sudah ada pentuntuknya kesana, belok ke sana, kalau kamu belok ke sana nyemplung, kalau kesini lebih lambat, kalau kesitu begitu.

Seperti kalimat ‘kemana pun wajah menghadap ketemu Tuhan’, maka hidup seharusnya bebrayan dengan Tuhan. Jadi bareng dengan Tuhan hidupnya. Tuhan bilang “Aku lebih dekat dengan urat lehermu” berarti bareng. Kalau bebrayan dengan dengan Tuhan ya bareng terus, Tuhan bilang “ke barat” ke barat,”ke timur” ke timur, “ke utara” ke utara, jangan Tuhan bilang “ke barat” kamu ke timur. Maka hidup itu seharusnya berbrayan dengan Tuhan. Kalau bebrayan dengan Tuhan beres, insyaAllah dengan masyarakat juga beres.

Kritik Om Budi atas dirinya: kelihatanya selama ini tidak hidup bebrayan dengan Tuhan, sehingga semakin lama semakin tidak jelas, ‘kejeglog-jeglong’, sudah kesini ternyata lebih lambat, sudah kesini ternyata ketemu got, ternyata terus. Sementara di hal yang lain lebih percaya dengan hal yang lain: ini lebih baik, lebih canggih, lebih ini-itu. “Aku tidak bisa menghitung di luar diriku, maka seharusnya aku bebrayan dengan Yang Maha Gaib, yaitu Tuhan”. (Redaksi – Arif Luqman Kastury)