blank

Jannatul Maiyah Gambang Syafaat kembali berjumpa dengan Mbah Nun pada 25 Oktober ini. Pada tahun ini, sampai bulan Oktober, Mbah Nun sudah datang ke Gambang Syafaat sebanyak tiga kali. Pertama, pada awal tahun; kedua, sebelum ramadlan dan lebaran; ketiga menjelang akhir tahun. Bisa dianggap ini berkah sekaligus rezeki. Memakai busana putih, bersih, bersinar, Mbah Nun duduk di hadapan jamaah.

Memasuki pukul 23.20 WIB, Mbah Nun tampil di depan para jamaah. Selain kedatangan Mbah Nun. Majelis Gambang Syafaat juga kedatangan tamu sedulur dari Majelis Maiyah Kenduri Cinta (Mas Fahmi Agustian), Majelis Gugur Gunung (Mas Agus Wibowo), dan Majelis Suluk Surakartan (Pak As’ad Munir dan Pakdhe Herman). Juga Habib Anis (Suluk Maleman) yang baru sembuh dari sakitnya, bisa hadir kembali di tengah-tengah para jamaah.

Pada pembukaan sebelum berbicara pada inti persoalan, Mbah Nun mengatakan, ”Gambang Syafaat ini sudah jadi. Sel-selnya sudah berkembang biak, sudah berjalan dengan baik.” Gambang Syafaat adalah “anak” yang dilahirkan Mbah Nun. Kini sang “anak” telah tumbuh dewasa dan bisa terus mengadakan pertemuan setiap sebulan sekali, selama 18 tahun. Pada kesempatan kali ini Mbah Nun mengajak jamaah Gambang Syafaat untuk belajar membaca diri secara autentik. Bisa membaca dan memandang diri sesuai kehendak Allah tanpa terseret oleh keinginan umum.

Kata Mbah Nun, ”autentik” itu artinya lahir dari kebutuhan hidupmu yang kamu pahami.” Diibaratkan oleh Mbah Nun, membaca diri secara autentik itu seperti “kamu makan jika kamu sudah merasa lapar dan kamu perlu makan, bukan makan karena ini sudah jam makan.” Banyak di antara kita yang makan tidak karena lapar tapi karena menuruti jam makan. Makanya, kata Mbah Nun, ”kita harus memahami kebutuhan hidup kita.”

blank

Membaca autentik ini juga harus diterapkan di negara kita. Karena menurut Mbah Nun, ”Puncak tujuan bangsa Indonesia dengan Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Indonesia harus mengetahui kebutuhan dirinya (rakyatnya) kalau ingin menjadi negara berkeadilan. Tujuan itu tercermin dalam Pancasila sila ke-5.

“Negara ini membangun segala infrastruktur dengan cara berhutang banyak ke luar negeri, kira-kira Indonesia sedang melakukan sesuatu untuk menjadi dirinya sendiri atau ingin meniru negara lain?” tanya Mbah Nun kepada para jamaah. Mbah Nun mulai mengajak jamaah mengamati perkembangan persoalan yang menimpa negeri ini. Mulai dari ribut reklamasi, penambangan, dan yang paling anyar Meikarta.

Dalam hal ini Mbah Nun kembali menekankan bahwa kita hanya diberi Maiyah untuk kita gunakan sebagai apapun. Yang penting tidak melanggar hukum, tidak menyakiti perasaan golongan lain, dan tidak menyalahkan kelompok lain. Maiyah itu seperti sumber mata air yang bisa berjalan menghidupi banyak hal dan bisa berguna untuk beragam jenis kebutuhan. Dan jangan kira hal seperti itu bisa langsung menyembuhkan Indonesia. “Maiyah bisa menyembuhkan Indonesia, kalau Indonesia menerima Maiyah, menyembuhkan Indonesia dengan cara Maiyah.”

Dan pada pertemuan kali ini bisa dibilang cara Maiyah untuk menyembuhkan Indonesia, salah satunya malam ini kita belajar melihat diri sendiri secara autentik. Kita diajak untuk mengetahui kebutuhan diri sendiri dan tidak mudah dimanipulasi oleh keinginan atau nafsu yang berada di luar kebutuhan kita. “Ibarat lukisan, kita lukisan yang dilukis oleh Allah,” kata Mbah Nun. Kita menjadi lukisan yang dikehendaki oleh Allah.

Nah, logika ini juga bisa diterapkan terhadap keadaan Indonesia, apakah pertambangan, reklamasi, dan sebagainya dilakukan dengan cara meminta izin kepada Allah terlebih dahulu? Kalau tidak meminta izin, jangan-jangan kita ini lukisan yang melukis diri sendiri. Karena sudah tidak menganggap peran pelukis (Allah) dan merasa sudah bisa membuat dan melakukan sesuatu tanpa kehendak Allah.

Di Indonesia inilah, Allah menciptakan Maiyah. Pernyataan ini sepertinya bertentangan dengan keadaan nyata, karena selama ini orang-orang mengira Maiyah diciptakan oleh Mbah Nun. Tapi pada malam itu Mbah Nun menegaskan, ”Saya tidak mampu bikin Maiyah, dan saya tidak pernah punya rencana membikin Maiyah. Ini (Maiyah) Allah yang membikinkan. Kita cuma lukisan yang dilukis Allah.”

blank

Di akhir acara Mbah Nun berpesan kepada para jamaah agar para jamaah harus menikmati Maiyah. Harus menyirami kebunnya. Harus bisa menumbuhkan pohon-pohonnya. Kata Mbah Nun juga, kita sedang berada dalam posisi frontal antar golongan yang berhadap-hadapan. ”Kita di Maiyah ini tidak untuk berada di antara golongan yang berhadapan itu. Tapi kita harus bisa menjadi perekat di antara yang sedang berhadapan itu.”

Gerimis turun mengiringi penghujung acara. Jamaah yang duduk tidak di bawah tratak berdiri berkerumun di bawah tratak. Suasana tetap hikmat saat Mbah Nun membaca do’a. “Ya Allah gembirakan anak-anakku semuanya. Berilah petunjuk dan panduan dan tunjukkanlah cahaya-Mu untuk memandu jalan mereka Ya Allah. Jangan pertemukan apapun yang mereka tidak bisa mengatasinya Ya Allah. Pertemukanlah mereka dengan berkah-Mu. Pertemukanlah mereka dengan tuntunan-tuntunan agar mereka tepat melangkah. Caranya melangkah tepat, arahnya tepat. Dan Engkau menyambut mereka dengan cinta-Mu Ya Allah.”

Amin… amin… amin… ya robbal ‘alamin. (Redaksi-Yunan Setyawan).