blank

Suatu ketika seorang bercerita kepada temannya. Ia seorang perempuan yang hendak menikah. Ia galau. Ia dihantui oleh ketakutan tentang menikah. Ketakutannya adalah, jika nanti menikah, ia akan mengurus anak, menggendong, merawat, dan akan menguras tenaga serta pikiran. Penampilannya pasti juga akan berubah. “Mbak, jika aku menikah nanti aku tidak bisa mengembangkan karier.” Itulah ketakutannya mengapa ia lama memutuskan untuk menikah. Ia tidak ingin repot. Dia bertanya pada teman perempuannya yang sudah menikah, apakah mengalami kegalauan yang sama ketika mau menikah?

“Tidak.” Jawab temannya singkat. “Aku menjalani saja. Aku menggunakan kesadaranku menjadi umat. Umat dalam hal ini adalah pengikut Muhammad. Ia datang membawa ajaran, aku ikuti ajaran itu. Nabi Muhammad bahkan berkata, menikah itu separo agama, kita sama-sama tidak tahu tentang rahasia masa depan, jadi mengapa harus galau.

Dalam beberapa literature, umat diartikan sama dengan manusia/ masyarakat, ada juga yang mengartikan umat adalah pengikut suatu agama atau nabi. Sedangkan umat menurut kamus Bausastra Jawa, mengandung arti (1) sekehing tumitah, (2) wong-wong sing ngelakoni agama Islam (Poro pedereke Nabi Muhammad). Namun dalam kamus tersebut, umat juga dijelaskan untuk merujuk kata ‘kumat’ yang berarti angot lara maneh (kambuh sakit lagi).

Kata umat-umatan dapat berarti sakit yang kambuh lagi dan kambuh lagi. Arti lain adalah umat yang tidak sungguh-sungguh sebagai umat. Satu kata yang diulang dan mendapat akhiran an bermakna jadi-jadian, tidak sungguh. Misalnya, rambut jika ditambah rambut-rambutan berarti rambut yang tidak sungguh-sungguh rambut. Mobil jika berubah menjadi mobil-mobilan maka artinya mobil yang tidak sungguh-sungguh mobil. Maka umat menjadi umat-umatan adalah umat yang tidak sungguh-sungguh umat.

Siapakah umat itu? Siapakah yang dimaksud Rosulullah menjelang wafatnya yang beliau sebut ‘umatku, umatku, umatku’? apakah hanya pengikut dalam artian fisik saja? Jika demikian umat adalah orang-orang yang berjumpa dengan Nabi. Tentu tidak fair jika umat dibatasi hanya orang-orang yang sejaman dengan Nabi, sebab Muhammad adalah Nabi penutup. Maka yang dimaksud umat adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, mengikuti ajaran Nabi, baik mereka pernah berjumpa dengan Nabi, lebih lagi orang-orang yang hidup setelah jaman Nabi  dan tidak pernah berjumpa dengan Beliau.

Lalu siapakah umat-umatan itu? Ia yang seolah-olah menjadi umat, secara fisik alim, berpeci, tetapi korupsi. Di depan umum ia menghadirkan dirinya sebagai umat, sebagai pengikut, tetapi disanubarinya ia menjadi pengikut nafsu, kekayaan, gila puja-puji.  Umat sejati adalah seseorang yang melakukan segala sesuatu mengikuti ajaran Muhammad, dengan petunjuk yang telah ada dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Sedangkan umat-umatan adalah orang yang mengaku umat, tetapi perilakunya justru untuk kepentingan dirinya, kebesaran namanya, kekayaan keluarganya. Jika ia hijrah, hijrahnya bukan karena Allah dan Rosulnya, tapi karena urusan keduniaan, jika ia mengurus masjid, berceramah, memberi nasihat, mengurus sekolah, dan lain-lain, adalah dalam rangka untuk dirinya.

Umat-umatan juga berarti kumat, umat-umatan adalah seseorang yang kadang sehat tetapi sering kambuh sakitnya. Orang yang dalam posisi keadaan waras, sehat rohani tentu mempunyai kesadaran keumatan, kesadaran terikat akan aturan dan ajaran yang ia anut. Sebaliknya, orang yang paham ajaran, menganutnya tetapi tidak mengimplementasikan dalam keseharianya, orang itu cuma umat-umatan.

Kegalaaun seorang perempuan yang mau menikah, yang diceritakan di awal tulisan ini tadi, meskipun secara tampilan dan lisan ia adalah ummat Muhammad, tetapi dalam memutuskan persoalan ia menjadi umat gaya hidup.

Kesadaran menjadi umat adalah jalan kembali. Ia adalah obat sederhana mengatasi kebingungan. Ia juga peta bagi kita untuk melangkah. Zaman yang bergerak. Berbagai ideologi yang berebut untuk menjadi ideologi dominan membuat manusia bingung, kemana ia harus melangkah. Siapa yang ditauladani. Mana nilai-nilai kebenaran. Bingung membedakan mana emas yang perlu muliakan dan kotoran yang  disingkirkan.

Gambang Syafaat edisi September 2016 mencoba mengangkat tema umat-umatan, menggelitik pribadi-pribadi sebagai bagian umat untuk tidak umat-umatan, untuk waras agar terbangun umat yang sesungguhnya, bukan sekedar umat-umatan. (Red)