REPORTASE MENEGES QUDROH JANUARI 2016

MENINDAKLANJUTI PESAN Silatnas II dan Maiyah Sirad tempo hari, Maiyahan Maneges Qudroh (MQ) dengan tema Tambang Insan dihelat di Pendopo Tourism Information Center (TIC) Borobudur (02/01). Dibuka oleh Pak Dadik, beliau menjabarkan bahwa disetiap individu baik itu yang sudah menjadi tokoh maupun belum mempunyai tambang yang bisa digarap dari orang yang memandangnya sehingga bisa menambah referensi kebaikan bagi penambangnya. Sedapat mungkin tokoh yang diundang adalah tokoh lokal yang mempunyai kebijakan lokal pula. Disambung dengan penyampaian hasil Silatnas Penggiat Maiyah II, Pak Edi yang didapuk menemani dulur-dulur MQ juga telah duduk melingkar bersama jamaah yang lain. Pak Edi dilihat dari individunya sudah memancarkan kebersahajaannya. Rambut dibiarkan gondrong, badan kurus dan pakaian yang sangat sederhana.

Diawal Pak Makmur Nahdlatul Muhammadiyin yang datang dari Bantul menyampaikan kesannya ketika memasuki daerah Borobudur. “Memanglah benar adanya jika daerah sini merupakan pusat peradaban dunia berada, dari awal masuk daerah sini atmosfernya sudah terasa berbeda“. Dan merespon tema Tambang Insan beliau mengungkapkan bahwa tambang ini kalau mengingat masa kecil jadi ingat tali tambang. Tali ini pula tak lain semacam teknologi ataupun metodologi, ada teknologi internal dan eksternal, sedang untuk berguru kepada sesepuh sudah lebih pada perwujudan dari aplikasi teknologi eksternal manusia.

Tambang insan adalah sebuah istilah yang dicetuskan oleh Pak Tanto Mendut, Presiden Komunitas Lima Gunung pada Maiyah Sirad tempo hari. Tambang insan pula telah digali kurang lebih selama 9 tahun bersama Gus Yusuf Chudlori Pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo beserta tema lain yakni Tambang Zaman dan Tambang Alam disetiap bulan Suro. Menurut Pak Tanto yang penting dari Magelang bukan tambang pasir di Merapi atau lainnya namun yang paling utama adalah tambang insan-nya, itulah Tambang Rahmatan lil ‘alamin yang sejati dari Allah SWT. Dan Cak Nun pula mengingatkan untuk selalu belajar pada kebesaran nenek moyang, terlebih kepada Borobudur yang berada di Magelang.

HINGGA akhirnya diperjalankanlah Pak Eko bersama dulur lainnya di kediaman Pak Edi, alumni Pesantren Lirboyo, salah seorang tambang insan yang berada di Candimulyo, Magelang. Ketika diundang ke depan oleh moderator dan berbicara satu dua buah kalimat, kesahajaannya demikian terbukti. Awalnya beliau berusaha untuk mementahkan kehebatan yang dikira dengan kalimat-kalimat sederhana, dimana beliau berjuang bukan untuk menghebat, akan tetapi hanya beusaha berbuat maksimal dan terbaik apa yang ada dihadapannya. Tetapi lantas ketika masuk dalam perjuangan yang beliau kerjakan, justru disitu akan muncul sosok sederhana tapi berbuat untuk semesta.

Pak Edi merupakan salah seorang pendekar kehidupan. Beliau adalah sosok pembelajar dan menguasai banyak ketrampilan. Dari seni lukis, kaligrafi, seni pahat, teater, jathilan. Juga usaha bengkel, merangkap sebagai tabib, membuka bimbingan belajar matematika dan bahasa Inggris serta pencetus warung kejujuran didesanya yang sudah berjalan 5 tahun. Selain itu beliau juga menguasai beragam bahasa baik Nusantara maupun internasional dari bahasa Aceh, Riau, Kalimantan, Jawa, Sunda, Inggris, Jepang dan tetap semangat untuk mempelajari bahasa Perancis saat ini di usianya yang sudah tak lagi muda.

Diawal Pak Edi berbicara tentang kondisi kemasyarakatan Candimulyo, sekaligus mengerti benar bahwa kondisi tersebut bisa menjadi wahana bersosial sekaligus beamal bakti kepada masyarakat. Tetapi terkadang niatan baik itu ketika ditebarkan banyak menghadapi kendala dan hambatan adanya kecurigaan mengubah tatanan baku yang telah berlaku. Beliau mengatakan bahwa sambutan masyarakat pada waktu itu banyak yang menyakitkan dan puncak dari rasa sakit itu adalah ketika ia mampu mengubah rasa sakit itu menjadi tidak sakit lagi. Beliau mengubahnya hanya dengan satu cara yakni cinta, yang menumbuhkan energi bahwa ia semakin mencintai daerah ini dengan cara berbuat dan berbuat sesuatu dengan kontinyu.

Sementara itu, Pak Eko menuturkan pengalamanya ketika bertandang ke ndalem Pak Edi pertama kali. Pak Eko merasa bahwa mayoritas pemuda di dusun tersebut sangat santun, tahu toto kromo, dan ajur ajer dengan lingkungan sehingga yang terlintas dalam benak beliau bahwa ini pasti ada tokoh berpengaruh yang benar-benar ngemong. Dan jika dikembalikan pada arti hidup, ya hidup itu juga tak lain tentang sebuah pelayanan. Peran sosial lain yang dilakukan Pak Edi seperti membantu tetangga-tetangganya untuk memiliki rumah, padahal kondisi rumah beliau pun hanya terbuat dari gethek (batang pohon bambu), membantu kelompok tani, kelompok peternak, seniman. Semua itu menurut Pak Edi dilakukan dalam rangka bukan hanya mengentaskan kemiskinannya saja namun yang lebih penting lagi ialah mengentaskan ke pikirannya. Bahkan dari anak didik yang diajar bahasa Inggris oleh beliau dipercayakan menjadi pendamping kemanapun beliau pergi, termasuk ketika ada kesempatan berdialog dengan Menteri Sosial dan bekunjung ke pelosok-pelosok Nusantara.

Selain itu, Pak Edi juga merupakan salah seorang saksi hidup pembantaian di Sampit, Kalimantan beberapa tahun silam. Bahkan jika mau jujur karena peran beliau, Kiai Beliau dan teman-temannya dari daerah Jawa yang bisa membantu meredam konflik di Sampit kala itu bukan seperti yang diberitakan oleh Mass media. Ditengah segala pelayanan yang telah beliau berikan di berbagai pelosok tanah air beliau terus bersikap ashor bahwa semua itu atas perannya Gusti Allah.

Pak Edi menuturkan bahwa dia adalah manusia yang sangat terbatas dan kalau dipikir secara logika, ia tak mampu melakukan semua itu untuk masyarakat. Akan tetapi kalau Allah sudah berkehendak, pasti kekuatan akan dilipatgandakan hingga terkadang beban yang dirasa tak tergendong bisa terangkat dengan sendirinya. Kesemuanya adalah kekuatan Allah. Beliau berseloroh ketika menerima bantuan dari Mensos 105 juta, istrinya sempat meminta haknya, akan tetapi dengan tegas Pak Edi mengatakan bahwa itu bukan untuknya. Akan tetapi Mensos memberikan untuk mereka yang kurang mampu. Dan memang benar bahwa Pak Edi sendiri tak menikmati bantuan tersebut, tetapi dari apa yang diperbuat justru rezeki tak pernah berhenti mengalir, meski dapat dikatakan tidak secara berlimpah. “Semakin hari, saya itu semakin merasa bodoh, semakin ndak ngerti tentang dahsyatnya kehidupan ini,“ terang Pak Edi.

Mas Faris pun ingin mengetahui lebih dalam dengan menanyakan hal yang supranatural yang sejatinya nenek moyang dahulu telah memiliki teknologi tinggi dalam mengelola tumbuhan namun disimpan dengan berbagai kode. Dan Pak Edi pun memaparkan banyak contoh terkait hal tersebut. Suatu ketika beliau pernah mengalami patah lengan sampai dua kali dan kemudian bisa disembuhkan dengan pohon gharqad (yang disebutkan dalam Alquran) yang ternyata juga sudah bisa ditemukan di Kalimantan. Beliau menceritakan pula bahwa di Kalimantan ada sebuah daun yang darinya bisa dibuat racun dan ketika disebarkan lewat udara dan mengenai orang, masyarakat sedesa bisa lumpuh. Penelitian lain yang pernah beliau ketahui dari Jepang, air putih yang didoakan oleh Kiai ataupun orang yang diberikan kelebihan ternyata bukan hanya persoalan sugesti dan doanya saja namun dapat dibuktikan bahwa air yang didoakan tersebut bisa bergerak, ada pula yang kemudian berasa asin ataupun manis tanpa campur tangan manusia memasukkan zat tersebut ke dalam gelas.

Sedang Pak Bondan juga tertarik untuk mengetahui bagaimana kisah titik balik sehingga Pak Edi sampai memiliki laku hidup yang seperti itu. Pak Edi pun mengisahkan bahwa biasanya beliau hanya tidur dua jam saja dalam sehari. Pak Edi pula telah mengalami masa-masa kelam dalam hidupnya, yang karena perbuatan buruknya dimasa silam membuat orang yang tidak terima mengirimkan roh halus yang menyiksa sukma beliau (bukan sakit fisik) yang ternyata kemudian berakibat juga pada fisik beliau yang lumpuh sekian lama. Dan karenanya beliau mengingat segala dosanya di masa lampau dan hanya bisa meminta pertolongan pada Allah, dan sejak saat itu sampai hari ini banyak sekali doa-doa beliau yang telah dikabulkan setelah melewati proses taubat.

Mas Kirun juga menyatakan rasa bahagianya bertemu Pak Edi, yang menurutnya merupakan wong mbiyen yang harus digali terus keilmuannya. Wong mbiyen pula dalam konsep Mas Kirun bukan orang kuno dan ketinggalan zaman, namun orang yang benar-benar hidup berbudi dan daya yang luhur, menggenggam sejatinya orang Jawa dengan segala kewaskitaannya. Orang yang memiliki daya juang tinggi, terus belajar tanpa mengenal lelah.

Hal yang ditelisik pula oleh Mas Kirun tentang bagaimana jalur nasabnya atau kelebihan yang dimiliki Pak Edi tersebut berasal darimana. Dan akhirnya Pak Edi pula mengungkapkan bahwa dirumah yang pernah beliau tinggali ditemukan emas dan gerabah peninggalan Belanda dan singkat kata Pak Edi juga tidak tahu jika ternyata beliau masih ada keturunan nasab dengan pangeran Diponegoro.

Pak Dadik menyimpulkan bahwa justru hebatnya Pak Edi, beliau bisa menerapkan puncak dai ilmu Sosiologi, Antropologi dan Psikologi Massa dengan baik. Dimana puncak dari ilmu adalah ketika bisa migunani tumraping liyan atau masyarakat. Semoga ini bisa menginspirasi lebih banyak orang untuk berbuat baik meski sekecil apapun bagi orang lain. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, pukul 12 lewat.

Pak Dadik pun mendapuk Mas Kirun dan Pak Verdhian untuk mengumandangkan sholawat puja puji kepada Baginda Nabi sekaligus dengan doa penutup. Saking tlatah pakuning Jawa, nguri-uri tambang insan, nyinaoni kebesaran nenek moyang untuk terus belajar, intropeksi diri dan bekal di masa yang akan datang. Menjaga kobaran api semangat bahwa sejarah bukanlah masa silam namun ia adalah masa depan.

TEKS: Hernadi sasmoyo aji dan NAFISATUL WAKHIDAH/MANEGES QUDROH