blank

“Saudara-saudaraku sesama orang kecil di pinggir jalan. Sedulur-sedulurku di dusun-dusun. Di kampung-kampung perkotaan. Karib-karibku di gang-gang kotor. Di tepi-tepi sungai yang darurat.”

Malam ini Cak Nun dan KiaiKanjeng memenuhi undangan masyarakat Jagalan kota Yogyakarta. Tiga tahun lamanya mereka menanti kedatangan Cak Nun dan KiaiKanjeng di kampung mereka yang sangat padat di tengah kota Yogyakarta ini.

Karena padatnya perkampungan Jagalan ini, panggung acara diletakkan di jalan di depan sebuah hotel. Selain di halaman muka hotel atau depan panggung, jamaah mengambil tempat di kanan-kiri panggung alias di sepanjang jalan. Sementara itu rumah tempat Cak Nun singgah, terletak di balik hotel yang terpisah oleh sungai dan harus melewati jembatan di atas sungai Code. Dirumah ini Cak Nun disambut oleh tuan rumah dan penyelenggara.

Sinau Bareng Cak Nun Jagalan
Suasana meriah bersama anak-anak.

Dari rumah tadi, untuk sampai ke lokasi panggung, Cak Nun dan rombongan tuan rumah harus berjalan melalui gang-gang setapak dan sempit di sela-sela rumah warga. Hal itu mengingatkan pada lirik salah satu lagu yang dibawakan Cak Nun pada album Kado Muhammad yang terkutip di awal catatan ini. Seakan memang menggambarkan bahwa hampir semua waktu Cak Nun habis untuk menyusuri, masuk ke lekuk-lekuk, dan menyapa orang-orang di dusun, di kampung-kampung, di gang-gang tempat masyarakat bawah berada. Entah sudah berapa ribu kali. KiaiKanjeng juga sudah tak terhitung menemani Cak Nun menemui, menyapa, dan melayani masyarakat di berbagai lapisan bawah masyarakat Indonesia.

Masyarakat Jagalan sudah memenuhi lokasi sejak usai Isya tadi. Bagi masyarakat Jogja yang tak sempat menghadiri Mocopat Syafaat yang berlangsung setiap tanggal 17, mereka bisa (dan sudah terbiasa alias menjadi tradisi) menyimak Maiyahan melalui ADiTV. Perjumpaan gelombang yang sudah terbentuk sekian lama itu, malam ini bagi masyarakat Jagalan menjelma perjumpaan yang tak hanya gelombang, rohani, tapi juga sekaligus fisik dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Karena itulah, sejak di rumah tadi para tuan rumah dan sesepuh sangat ta’dhim, hormat, dan merasa mendapat kehormatan karena Cak Nun berkenan hadir di kampung Jagalan ini.

Malam ini Sinau Bareng bertemakan Kepengasuhan Anak. Kebetulan penyelenggara punya hajat meng-aqiqahi anak ketiga-nya yang barusan lahir. Di rumah, Cak Nun sempat dimohon untuk mendoakan si bayi.

Ada yang menarik di sini. Biasanya menjelang acara, nomor-nomor apa yang akan dibawakan KiaiKanjeng terutama untuk pembukaan sudah fixed. Tetapi setengah jam sebelum ke panggung, Cak Nun belum benar-benar merasa yakin akan membuka dengan lagu apa. Akhirnya, saat tiba Cak Nun dan KiaiKanjeng naik ke panggung, Cak Nun memilih membuka dengan menyapa terlebih dahulu para jamaah. Menjajagi rasa mereka, sembari menjalinkan kedekatan di antara semua yang hadir. Jalan yang ditempuh Cak Nun adalah membesarkan hati, meyakinkan mereka, bahwa “Nggak usah tergantung atau terpaku pada simbol: santri atau abangan. Santri yang baik hatinya banyak. Abangan yang santri juga banyak. Jadi sekarang, jangan berpedoman pada simbol, tapi pada akhlaknya bagaimana hidup bebrayannya di dalam masyarakat. Santri bukan karena kupluk-nya, tapi bagaimana bebrayan-nya.”

Karena tema malam ini adalah kepengasuhan anak, Cak Nun pun minta anak-anak untuk naik ke panggung. Sudah sangat sering di berbagai Maiyahan, setiap kali ada anak-anak yang datang atau sebelumnya tampil, akan diajak menjadi bagian dari muatan Maiyahan, seperti belum lama ini Maiyahan di Jambangan di Surabaya. Istimewanya anak-anak Jagalan ini, belum sampai satu menit diminta Cak Nun, anak-anak di sini langsung gemruduk naik ke panggung penuh semangat dan percaya diri.

Ditanya nama dan nama kedua orangtuanya, langsung menjawab dengan mantap. Mereka seperti tak ada jarak, bahwa ini panggung dan disaksikan banyak orang, mereka seperti dengan ayahnya sendiri terhadap Cak Nun. Dan ketika diajak shalawatan, salah satu anak putri yang masih sangat kecil, lima tahun usianya, dengan berada di pelukan Cak Nun, menembang pujian Shalawat Nariyah. Ajib, suaranya terukur dalam membawakan Shalawat Nariyah ini. Akhirnya semua anak-anak diajak berkolaborasi dengan KiaiKanjeng membawakan pujian yang sangat populer ini. “Saya dari awal belum fixed, nomor apa yang akan kami bawakan di awal, dan itu tidak seperti biasanya. Ternyata Allah memilihkan Shalawat Nariyah untuk kita semua melalui anak kita ini. Kalau anak-anak di sini sudah hapal Shalawat Nariyah, maka saya percaya pada kampung ini,” tutur Cak Nun. Kemudian secara musikal Cak Nun mengapresiasi bahwa anak ini pitch-nya tepat sehingga tidak ada fals-nya. Dia sangat berbakat. Mungkin bisa jadi qari’ah nantinya. KiaiKanjeng pun tak mengalami kesulitan dalam mengepaskan iramanya. Demikianlah hidayah perjodohan Maiyahan malam mewujud melalui shalawat dan musik.

Mbah Ramli, salah satu guru KiaiKanjeng dalam hal teknik memukul Rebana
Mbah Ramli, salah satu guru Rebana KiaiKanjeng.

Perjodohan di malam tak hanya terjadi melalui anak-anak. Tetapi dengan hadirnya Mbah Ramli. Siapakah Mbah Ramli. Dia adalah salah satu guru KiaiKanjeng dalam hal teknik memukul Rebana, yakni Rebana Martapuran. Ketika itu, Cak Nun dan KiaiKanjeng silaturahmi kepada Tuan Guru Zaini Martapura Kalimantan Selatan, seorang ulama yang mencintai Rasulullah dan banyak melantunkan shalawat-shalawat di dalam majelisnya dan membacakan Maulid Simtuth Duror, seorang ulama yang dihormati dan dicintai oleh Cak Nun karena keistimewaannya di dalam bershalawat dengan suaranya yang khas itu. Seorang ulama yang dari dulu tak mau maulidannya direkam dan ditayangkan televisi. Seorang ulama yang istiqamah menjaga martabat dan cinta kepada Kanjeng Nabi. Beliau wafat pada usia 63 pada tahun 2005.

Pada silaturahmi itu, KiaiKanjeng ingin belajar terbangan Martapura, dan Guru Zaini mengatakan, sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke sini, sebab di Yogyakarta ada orang yang bisa membantu untuk belajar terbangan Martapura. Dialah Mbah Ramli. Rupanya Mbah Ramli sudah pernah berguru ke Guru Zaini. Akhirnya KiaiKanjeng berguru kepada Mbah Ramli. Malam ini beliau hadir di Jagalan, dan seperti diceritakan tuan rumah, sudah tiga bulan ini Mbah Ramli membimbing anak-anak atau remaja di sini untuk shalawatan. Mbah Ramli memang istiqamah mendidik orang-orang berindah dalam mencintai Kanjeng Nabi.

Usai bersama anak-anak tadi, Cak Nun segera mengundang tuan rumah dan mbah Ramli naik ke panggung. Sungguh perjodohan yang indah, bahwa personel dan vokalis KiaiKanjeng malam lengkap semuanya. Mbak Yuli dan Nia juga datang jauh-jauh dari Jombang dan Mojokerto. “Hadirnya Mbah Ramli dan lengkapnya KiaiKanjeng mudah-mudahan pertanda ridho Allah untuk kita semua.” Cak Nun lalu mengajak semua hadirin berkhusyuk dalam bershalawat dan membaca sebagian dari kita maulid Simthuth Duror, di mana lebih banyak bunyi terbangan dihadirkan mengiringi shalawatan tersebut. Terbangan seperti yang pernah dilatihkan Mbah Ramli kepada KiaiKanjeng, dan KiaiKanjeng pun sangat memaksimalkan diri dalam memukul terbangan malam ini, seakan seperti tengah dilihat gurunya. Pukulan-pukulan dalam komposisinya terasa sangat kuat.

“Apa hubungannya aqiqah dengan shalawat?,” tanya Cak Nun kepada jamaah usai menyimak sedikit sambutan dari Pak Yono, sang sohibul bait. Cak Nun mengapresiasi, tak semua orang meng-aqiqahi anak dengan shadaqah sosial seperti ini. “Saya coba mencari hubungannya. Saya yakin bahwa mengaqiqahi anak dengan shalawatan seperti ini adalah satu bentuk usaha kita nyelawati cintanya si bayi ini kepada Kanjeng Nabi, sehingga kelak dia akan menjalani hidup dengan nilai-nilai mencintai Nabi…,” terang Cak Nun.

Kegembiraan dan Sinau Bareng
Kegembiraan dan Sinau Bareng

Semakin berada di bawah, semakin senang, dan semakin sayang. Begitu kalimat Cak Nun menggambarkan suasana hatinya saat berada di tengah masyarakat seperti di kampung Jagalan ini. Dan benar, ekspresi sayang dan kedekatan itu sudah muncul dan menguat sejak awal Cak Nun di panggung. Klop gitu rasanya. Sorot mata dan ekspresi jamaah atau masyarakat yang hadir pun demikian halnya. Kedekatan dan keakraban itu di antaranya coba diwujudkan dengan kesempatan diberikan kepada para vokalis untuk membawakan nomor-nomor yang indah pula. Mbak Yuli melantunkan Allah Wujud Qidam Baqa, Mbak Nia bertugas bawakan Shallallahu ‘ala Muhammad, Mas Islam hadirkan nomor lembut La Tahzanu, dan baru saja selesai mas Doni KK persembahkan One More Nightnya Maroon 5, Mas Imam Fatawi langsung menyambung dengan gelegar suara dangdut melalui nomor Beban Kasih Asmara. Parade lagu-lagu ini benar-benar memanjakan hadirin.

Bapak Imam Priyono, Wakil Walikota Jogja yang juga hadir malam ini, masih setia mengikuti Maiyahan malam ini yang ternyata sudah berjalan sampai pukul 23.30. Duduk di samping Cak Nun, seakan Beliau ingin ikut memastikan bahwa masyarakat bisa belajar dan menyerap dengan baik apa-apa yang disampaikan Cak Nun atau segala yang berlangsung di Maiyahan malam ini. Sebab, Ia sendiri di awal sudah menyampaikan agar Cak Nun membimbing masyarakat supaya tidak mengalami kerusakan.

Sebagaimana diketahui bahwa Kampung Jagalan terkenal sebagai salah satu kawasan “merah” di kota Yogyakarta. Berbagai perilaku buruk warga seperti mabuk, tawuran dan bahkan berbagai atribut kriminalitas kerap disematkan kepada kampung Jagalan ini.

Sejalan dengan harapan itu, selepas parade lagu-lagu barusan, Cak Nun menggambarkan apa yang dikerjakannya, “Saya tidak mengajak Anda berbuat baik. Saya cuma nyervis mesin Anda, sehingga mesin Anda menjadi lebih siap untuk bisa menikmati segala sesuatu, siap menikmati shalawatan, sehingga ujungnya nanti Anda siap melakukan kebaikan.”

Di kampung Jagalan ini kepengasuhan kepada anak-anak telah berlangsung. Salah satunya tercermin pada dekatnya anak-anak dengan shalawatan, pepujian, dan ngaji. Hal yang dibenarkan oleh salah satu warga atau pengasuh di kampung ini, “Dulu saya di tanya dari mana. Ketika saya bilang dari Jagalan, orang itu bilang. Oh Jagalan nggone wong ra enak. Intinya kemudian, saya berusaha menjadikan kampung ini menjadi kampung santri.” Saat kalimat terakhir ini diucapkan, warga yang lain menyahut dengan penuh harap dan syukur, “Amiiiin….”.

Dialog berlangsung sangat intens, menyelami hakikat shalawat, tapi dengan penjelasan-penjelasan yang menyegarkan. Pertanyaannya unik. Karena Kanjeng Nabi sudah meninggal, apakah Allah masih bershalawat kepadanya. Di dalam al-Quran Allah menegaskan, Innalaha wa malaikatu yusholluna ‘alannabi ya ayuhhalladzina amanu shollu ‘alaihi wa sallimu taslima. Cak Nun mengingatkan dua hal. Pertama, shalat dan shalawat itu sebenarnya satu rumpun kata dan satu makna. Esensinya adalah cinta. Salah satu bentuk cinta atau shalat manusia kepada Allah ditentukan oleh-Nya dalam bentuk shalat lima waktu itu. Kemudian juga ada esensi cinta yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk budaya, termasuk cinta kita kepada Nabi Muhammad. Kedua, mengenai apakah Allah masih bershalawat atau tidak, Cak Nun mengingatkan bahwa Allah tidak punya “masih”, “belum” atau “sudah”. Itu adalah waktu linier menurut mata manusia yang tak berlaku untuk Allah. Selain itu, yang tak kalah mendasarnya, hendaknya kita tidak memakai parameter fisik-materialistik dalam memandang apa saja, termasuk dalam memahami Rasulullah.

“Jadi pengertian kita mengenai shalat yang harus diubah dan dibenahi. Shalat itu intinya cinta atau tresno,” tutur Cak Nun.

Jawaban-jawaban Cak Nun ringkas tapi bersifat memberikan kunci. Kembali ke soal pengasuhan anak, Cak Nun berpesan agar orangtua mengawal perkembangan dan penanaman akhlak dan aqidah pada diri anak-anaknya. Dan jangan berpikir bahwa sejatinya kita yang mendidik anak. Allahlah yang mendidik mereka. Kita para orang tua hanya mengikuti atau menguntiti. Soal anak akan menjadi apa nantinya, itu bukan urusan yang primer sekali. Dikawal saja anak-anak itu. Juga harus punya reeserve kesadaran, bahwa terkadang diusahakan seperti apapun, nanti bisa kalah dengan yang namanya nasib.

Bapak Imam Priyono, Wakil Walikota Yogyakarta.
Bersama Bapak Imam Priyono, Wakil Walikota Yogyakarta.

Muatan yang istimewa dari Cak Nun sebenarnya adalah kedalaman ilmunya dalam mengenalkan jamaah pada kedalaman-kedalaman dalam merasakan gerak hidup. Seperti dinyatakan tadi, “Hidup kita ini tak bisa terduga, kadang memanjang, kadang memendek. Tak usah mengkalkulasi Allah, jangan seperti bermain gobak-sodor. Allah memang memberi potensi baik dan buruk, tapi inisiatif baik-buruknya Anda apa pada Anda. Jadi keputusan Anda yang dilihat. Allah memberikan pada kita untuk mentakdirkan atas diri Anda sekian persen. Mikir yang baik-baik saja. Energimu gunakanlah untuk menambah kebaikan.” Itulah beberapa kunci mendasar yang dipesankan Cak Nun merespons pertanyaan beberapa audiens.

Memasuki akhir acara, Pak Wawali diminta membawakan satu nomor, yaitu Campursari Sewu Kutho, diiringi KiaiKanjeng. Sebelumnya, dengan rasa penuh syukur, Pak Wawali menyampaikan bahwa malam ini, khususnya dengan shalawat-shalawat yang dilantunkan, masyarakat Jagalan khususnya mendapatkan syafaat dari Rasulullah.

Cak Nun memaksimalkan KiaiKanjeng, sampai malam ini pun Mas Alay, yang sudah sekian tahun lebih berperan di manajemen KiaiKanjeng, diminta maju dan membawakan satu nomor, seperti dulu awalnya dia sebagai salah satu vokalis KiaiKanjeng. “Marhaban….” Itulah nomor yang dibawakannya.

Menutup acara ini, sekali lagi Cak Nun kembali mengapresiasi. “Jagalan sudah menjadi seperti yang anda cita-citakan. Dan juga bahwa Jogja ini menjadi bagian yang penting dari Indonesia, itu bisa dilihat dari prestasi dan kekhususannya.”

Dan memuncaki Sinau Bareng malam ini, Cak Nun mengajak semua yang hadir berdiri, berdoa, memejamkan mata. Cak Nun melantunkan surat an-Nur ayat 35 dan disambung dengan Doa Wabal.

Acara sudah tiba di penghujungnya. Jamaah berjabat tangan dengan Cak Nun, Pak Wakil Wali Kota, Pak Yono, dan Mbah Ramli. Sementara itu, KiaiKanjeng mengirinya dengan beberapa nomor di antaranya Allahumma Sholli ‘ala Muhammad dengan vokal lirik Indonesianya oleh Pak Nevi.

Layak dikutip pula bahwa Cak Nun menjelaskan tadi bahwa syafaat Rasul adalah kekhususan dari Allah untuk Kanjeng Nabi, dan syafaat itu diberikan untuk umatnya. Bentuknya bisa bermacam-macam seperti kemudahan atau rezeki. “Syafaat itu membuat yang tak tercapai menjadi tercapai”.