blank

deklarasi-aurat-gsoktKetika kita mendengar kata aurat, maka yang kita ingat adalah bagian-bagian yang sebaiknya tidak terbuka. Kita pinjam kata aurat untuk tidak saja berlaku bagian tubuh yang harus ditutup. Kalo engkau punya rahasia sebuah kebenaran, yang menurut perhitungan kemaslahatan-kemudhorotan tidak boleh sama sekali dibuka, apa yang sebaiknya engkau lakukan? Membawa mati rahasia itu ataukah mewariskannya kepada orang yang engkau percaya, atau justru menabrak perhitungan kemaslahatan-kemudhorotan dengan membeberkan rahasia sebuah kebenaran dengan segala resikonya.

Seorang pemimpin besar yang memikirkan rakyatnya, diakhir ajalnya, tidak menunjuk penggantinya dengan pertimbangan tertentu, meski secara pribadi bisa jadi sang pemimpin tersebut punya pendapat perihal orang yang kompeten menjadi penerusnya. Di kemudian hari spektrum tentang tema kepemimpinan justru pemimpin besar itulah yang menjadi rujukan.

Yang ditutupi, tidak selalu sebuah kejelekan, kebaikan pun terkadang menjadi aurat. Bahkan jika kita iseng mempertanyakan mengapa bagian tubuh seorang wanita menjadi aurat? Apakah itu karena bagian tubuh tersebut “jelek”? Apa ada kemungkinan pendapat bahwa justru bagian tubuh itu “indah”? Jangan-jangan kita terlalu fokus pada objek yang ditutupi, padahal pertimbangan aurat atau bukan, tidak pada apakah itu kejeleken atau keindahan, kebenaran atau kebohongan, tetapi pada efek jika aurat di buka, dideklarasikan. Jika sesuatu dibuka dan menimbulkan mudhorot, maka sebaiknya dijadikan aurat, bahkan jika itu sebuah ‘kebenaran’. Katakan kebenaran walau itu pahit. Pertimbangan kesiapan menelan kepahitan tidak saja pihak yang mengatakan tetapi lebih-lebih pihak lain. Ibarat jamu, engkau boleh saja meminum jamu yang pahit sehari tiga kali karena engkau mengerti bahwa itulah obat yang engkau butuhkan, tetapi tidak berarti engkau boleh memaksa-maksa ke seluruh orang untuk ikut meminum jamu.

Maka jika engkau punya kemampuan menggandakan uang, dan itu merupakan kebenaran, apakah itu aurat? Jika engkau mengetahui dengan presisi bahwa seseorang itu pembohong, apakah sebaiknya itu diauroti padahal orang tersebut sedang digadang-gadang menjadi petugas pengelola kas desa? Jika engkau suatu ketika bermimpi bercumbu dengan istri tetangga, apa perlu diceritakan kepada istrimu karena sudah ada perjanjian ‘tidak ada kebohongan diantara kita’?

Kepada Tuhan, tentu saja tidak ada pilihan lain selain kita bertelanjang di hadapan Nya, sebab jika pun kita menutupi tidak ada pengaruhnya bagi “mata tajam” Nya.

Terhadap kejelekan/aib kita, tidak selamanya kita mintakan kepada Tuhan untuk ditutupi/diaurati, sesekali kita minta Tuhan mendeklarasikan aib kita, jika itu jalan agar kita bisa memperbaikinya.

Terhadap kejelekan/aib orang lain, tidak mesti kita tidak mengatakannya, adakalanya justru ‘fardu kifayah’ untuk mendeklarasikannya. Tidak mengatakan tidak sebangun dan tidak sama persis dengan berbohong.

Kalau engkau berteriak-teriak tentang revolusi, tentang perubahan fundamental, tentang balik arah paradigma, maka bersiaplah engkau melakukan/melihat deklarasi aurat karena bisa jadi itu adalah jamu yang harus engkau telan.

Gambang Syafaat edisi Oktober 2016, mencoba memberikan pancingan untuk berfikir siklikal mengenai aurat, agar keputusan yang kita ambil tepat maslahat disaat banyak orang terbata-bata kapan membuka aurat, kapan menutupinya karena pertimbangan untung-rugi, menang-kalah.