MASIH DALAM SUASANA lebaran, malam itu, 25 Juli 2015 saat waktu menunjukkan pukul 20.15 para penggiat Gambang Syafaat memimpin wirid Maiyah tanda dimulainya acara. Jamaah tampak mulai bergabung dan mengikuti wiridan.

Setelah wiridan, Kang Doer menyapa jamaah, menyampaikan ucapan minal aidzin wal faizin, dan meminta jamaah lebih mendekat agar satu sama lain bisa saling menyapa. Kang Doer mengingatkan bahwa majelis Maiyah adalah majelis kebersamaan yang pada dasarnya semua dan siapapun yang hadir merupakan narasumber. Kang Doer mengharapkan keaktifan jamaah supaya terjadi dialog sehingga pengalaman dan diskusi bisa menjadi ilmu bersama.

Mengangkat tema Merayakan Kemelekatan, sebagai bagian penggiat komunitas, Ali
diminta menyampaikan beberapa landasan sebagai titik berangkat diskusi.

Mengenakan jaket dan kaos kaki, Ali sampaikan, “Untuk beberapa hal, saya meminta Al-Fatihah. Belum lama ini keluarga besar Maiyah kehilangan sedulur-sedulur.” Melanjutkan, “Saat baru lahir, semua orang dalam keadaan telanjang, baik dalam pengertian telanjang sebenarnya maupun dalam tafsir yang lebih dalam. Setelah lahir, tentu orang akan bersentuhan dengan orang-orang sekitarnya, utamanya adalah keluarga, tetangga dan orang yang secara geografis dekat. Dalam perkembangannya, sekolah, pergaulan serta pendidikan orang tua sangat membentuk pribadi seseorang. Kampung
halaman adalah unsur yang ada disana, rumah tempat lahir, orang tua yang mengasuh, keluarga yang berinteraksi, lengkap dengan suasana dan kondisi sekitarnya.”

Ali menyoroti fenomena merantau yang banyak dialami oleh masyarakat sub-urban. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa seseorang merantau. Seseorang akan pergi dari kampung halamannya jika dia tidak bisa tinggal karena diusir pihak lain yang mengharuskan dia untuk pergi. Kedua, orang merantau dikarenakan alasan
‘ketidaklengkapan’ kampung halaman, sehingga orang pergi ke tempat lain untuk melengkapinya. Tidak mungkin seseorang pergi dari kampung halaman jika disana sudah ‘cemepak kabeh‘.

Menceritakan dirinya, Ali merantau disebabkan karena alasan pekerjaan. Di tempat asalnya, dia tidak punya ‘penghidupan’ sehingga musti merantau dan bekerja di luar kota. Orang-orang rantau yang bekerja di Jakarta dan kota-kota lain mempunyai alasan berbeda, tapi setiap tahun mereka melakukan ritual yang sama, yaitu: mudik. Mengapa mudik? Mereka melakukannya untuk merayakan kemelekatan, kemelekatan mereka dengan orang tua mereka, kemelekatan mereka dengan suasana kampung, kemelekatan mereka dengan
masa lalu mereka. Kampung halaman telah memberikan riwayat yang tidak tergantikan, sehingga orang pasti akan rindu, orang ingin klangenan dengan asalnya. Maka mudik itu adalah merayakan kemelekatan, sehingga sejauh jauh engkau merantau, rumah adalah tempat kembali.

“Mudik adalah proses mencari kejernihan diri, sebab asal muasal kita adalah jernih, dalam bahasa kini disebut idul fitri (kembali suci).”

SETELAH ALI menyampaikan sudut pandangnya, Kang Doer menghampiri jamaah untuk mengajak diskusi. Malam itu Budi Maryono ikut membagikan buku antologi puisinya berjudul Sendhon kepada jamaah.

Dari diskusi, diperoleh beberapa pertanyaan dan tanggapan. Tiga jamaah yang malam itu baru pertama kalinya mengikuti forum Gambang Syafaat, menyampaikan harapan harapannya. Salah satunya menyinggung masalah Nabi Adam AS. Ia menanyakan: jika
rumah Nabi Adam adalah surga, kemudian diusir, kita sebagai anak cucu Adam berarti mudiknya ke surga, bagaimana kalau ternyata lebih kerasan di dunia?

Jamaah lainnya menyayangkan keadaan bangsa, mengapa aktivitas puasa tidak berbekas, sebenarnya dengan kesadaran percaya bahwa Allah Maha Mengawasi, mestinya puasa (Ramadan) adalah latihan untuk diterapkan kemudian di aktivitas sehari-hari. Dalam pandangannya, jika puasa seseorang berhasil tentunya tidak akan ada lagi perilaku korupsi.

Jamaah lain ikut menambahkan, “Mudik itu harus, supaya kita tercerahkan, sebab ada tafsir yang mengatakan bahwa mudik itu berasal dari kata mudi’un yang artinya tercerahkan.”. Ali lalu kembali mengingatkan pentingnya forum diskusi tatap muka seperti yang
dilangsungkan malam itu. Ia mengkritisi peran media sosial yang telah banyak dianggap sebagai pengganti media silaturahmi. Media sosial tidak bisa memberikan ‘nuansa’ asli atau rasa sesungguhnya dari sebuah peristiwa, jadi meski banyak sekali rekaman acara
Maiyah di YouTube, bertemu dan bertatap muka memiliki suasana yang tak tergantikan.

Merespon sebelumnya, Ali berpendapat karena Nabi Adam adalah penduduk surga, maka ketika ia mengelola dunia tentu dengan memori surga. Nabi Adam tetap merindukan surga sebenarnya sebab memang sesurga-surganya bumi tetaplah bumi bukan surga. Surga yang dimaksud tentu tidak hanya dalam pengertian ‘lokasi’ tetapi dalam pengertian ‘di
dalam kepengasuhan Allah’.

Mas Nug ikut menambahkan, untuk bisa melekat dibutuhkan perekat. Jika tidak ada perekat maka orang cenderung lupa. Sebenarnya Allah memberikan banyak sarana untuk menjaga kemelekatan manusia dengan asalnya. Puasa, salat adalah satu dari sekian banyak perekatnya. Allah sebenarnya memberikan perintah-perintah yang memang berat kepada manusia sebagai sarana perekat. Dalam pandangannya, seiman juga merupakan tanda kita memiliki kemelekatan satu sama lain, seiman dalam arti bahwa Tuhan menjadi
pertimbangan dalam segela tindakan. Orang berbeda agama belum tentu tidak seiman, sebab banyak juga yang beragama namun lupa Tuhannya.

Melanjutkan forum, Wakijo kemudian membawakan dua nomor lagu, Ilir-ilir dan Api Yang Bertasbih
“Orang merantau dikarenakan alasan ‘ketidaklengkapan’ kampung halaman, sehingga orang pergi ke tempat lain untuk melengkapinya.”

MALAM ITU, Budi Maryono memperkenalkan Maria Nakiyo, seorang tenaga kerja Hongkong yang sedang mudik ke kampung halamannya di Wonosobo.

Maria biasanya mengikuti forum Gambang Syafaat di Hongkong melalui jaringan video streaming. Ia ikut menambahkan wacana malam itu, mudik berasal dari kata udik, yang artinya kampong, desa, pelosok atau pedalaman. Namun apabila melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata udik dengan artian kampung adalah arti ketiga atau turunan yang
telah mengalami perubahan dari makna aslinya. Arti awalnya adalah hulu (asal, awal bagian atas sungai yang dekat dengan sumber). Ada hulu sungai yaitu bagian yang dekat dengan sumber, semakin menjauh dari sumber disebut hilir. Maka kita mengenal istilah
hilir mudik.

Saat Nabi Adam dikeluarkan dari surga, maka saat itu Adam dihilirkan oleh Allah, meski sebenarnya Allah tetap nyekeli atau dipegang supaya ingat akan udik-nya. Mengapa demikian? Sebab perjalanan mudik butuh perjuangan, tidak bisa ngintir, harus dengan usaha lebih. Kemana mudiknya Adam dan semua manusia? Ke surga? Dalam Alquran
dikatakan: kepada-Ku lah engkau kembali. Mudikmu itu ke Aku, sebab sumbermu adalah Aku. Surga bukanlah tujuan akhir mudikmu, sebab hulumu adalah Allah.

Sebagaimana sungai, semakin ke hilir semakin banyak kotoran, semakin tidak jernih. Hulu adalah kejernihan. Mudik adalah proses mencari kejernihan diri, sebab asal muasal kita adalah jernih, dalam bahasa kini disebut idul fitri (kembali suci). Saat kita menghilir, banyak hal terjadi dan peristiwa yang dialami. Untuk menjaga mengingat udik kita, Allah memberi sarana dengan memberikan kewajiban serta perintah, seperti: puasa, zikir, salat, haji.

Berhati-hatilah saat mudik, ketika mencari kejernihan, bisa jadi usaha kita mendekat ke sumber tapi justru hasilnya menjauh, misalnya orang shsalatlat dengan sombong, haji
untuk menutupi korupsinya, dll. Hidup itu ya hilir mudik, ndak bisa dalam hidup itu jernih terus, tapi ya jangan awet ruwet. Setiap waktu mau tak mau harus hilir mudik. Hilir mudik
itu bisa terpisah, tapi sebenarnya bisa dilakukan seirama atau bersamaan.
Salat adalah syariat untuk mengingatkan udik kita, Allah sangat sayang kepada manusia sehingga memberikan salat lima waktu. Salat bisa diartikan sebagai jeda menghilir. Saat semua aktivitas kita dilandasi Tuhan sebagai pertimbangannya, saat apapun yang kita
lakukan, kita ingat Allah, maka itulah zikir sesungguhnya. Saat itu hilir mudik adalah satu kesatuan, pada saat menghilir saat itu juga ingat mudik. Mungkin hilir mudik yang
demikian bisa disebut kemelekatan, kemelekatan akan sumber dan asal usulnya. Kunci untuk itu adalah ada di Surat Al-Mukminun, yakni: khusuk. Khusuk dalam salat, khusuk di
luar masjid.

“Mudikmu itu ke Aku, sebab sumbermu adalah Aku. Surga bukanlah tujuan akhir mudikmu, sebab hulumu adalah Allah.”

MENJELANG AKHIR acara, Wakijo berselawat Inna Fil Jannati, disusul Kang Nug membacakan puisi untuk mengingatkan kepada kampung halaman sejati berjudul Rumah Kita, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Tanah Airku.
Sebelum diakhiri, Budi Maryono menambahkan bahwa salat bisa menjadi cara kita untuk mengingat proses hilir mudik, saat takbiratul ikhram kita ingat udik kita, saat salam kita
diminta menghilir. Kita bisa berguru kepada siapa saja perihal mudik, termasuk kepada proses alam dan peristiwa di sekitar kita. Jangan sampai kemelekatan kepada satu hal
menjerumuskan kepada salah satunya, hilir saja atau mudik saja.

Diskusi ditutup dengan statement Ali, “Bahwa kita punya asal-usul adalah tak
terbantahkan, kemelekatan terhadap asal-usul menjadi keniscayaan, mudik adalah perjalanan menuju ke asal-usul yang memerlukan perjuangan setelah menghilir. Selamat hilir mudik dan merayakan kemelekatan semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung.”

Pukul 00.30 acara dipungkasi dengan Sohibu Baiti dan doa, dilanjutkan dengan bersalaman antar jamaah.