Tunggal adalah wujud yang tak mendua sedangkan yang tak mendua ini memiliki kemerdekaan untuk menciptakan satu, dua, tiga dst. Atau menciptakan Ika, Dwi, Tri, dlsb.

‘Ika’ (satu) dengan ‘Tunggal’ (sendiri/satu-satunya) sangat berbeda. ‘Tunggal’ adalah hakekat semua perbedaan, keanekaan, karena dari segala yang tampak beraneka itu sesungguhnya wujud Kasih Allah yang hendak mengajarkan akal manusia menemukan keEsaan. Yang Tunggal memecah cahayaNya dari ranah paling lembut hingga ranah paling kasar. DibuatNya segala sesuatu itu berdiri sebagai: satu, dua, tiga, hingga bermilyar-milyar jumlahnya untuk menyatakan secara konkret Allahu Akbar sang Dzat Yang Maha Tunggal. ‘Tunggal’ yang menguasai semua wujud, sedangkan ‘Ika’ memerlukan dwi, tri, dst untuk merasakan dirinya seakan ada.

BANGSA BHINEKA
Bangsa ini memiliki kadar keanekaan yang luar biasa. Ini membuktikan bahwa kapasitas manusia nusantara telah dilengkapi fitur yang tidak dimiliki bangsa lain, yakni kemampuan mengharmonisasi kebhinekaan. Berikut sekelumit contoh saja :

– Sastra :
Bangsa ini dikarunuai kekayaan sastra. Dengan bentuk dan konsentrasi yang berbeda-beda. Ada yang bersastra melalui gerakan, ada yang bersastra melalui tulisan.

– Hukum :
Kebijakan yang dijunjung adat, lahir dari penyesuaian yang arif kepada lingkungannya. Ada yang jika mencuri dikenakan sangsi yang keras. Namun ada juga yang justru semua warga berbondong-bondong membantu si pencuri, karena jika ada seseorang dari warganya yang sampai mencuri, adalah tanda bahwa dia sudah sangat kekurangan.

– Pemerintahan :
Hampir semua sistem pemerintahan di wilayah nusantara ini menggunakan pola kerajaan. Ada penguasa puncak yang dihormati entah itu raja, kepala adat, kepala suku. Ada pekerja lapangan, ada sistem pertahanan, ada kaum ruhaniawan. Model ini berkaitan erat dengan jenis manusia nusantara yang berjiwa merdeka namun telaten menghitung keberadaan Tuhan pada segala hal. Maka masyarakat nusantara akan memilih pemimpin yang keberadaannya mampu ‘menghadirkan’ Tuhan dalam titah kepemimpinan yang beradab. Manusia Nusantara tak tunduk kepada manusia, melainkan tunduk kepada sosok yang memiliki kadar Tuhan yang santun, tegas, dan menumbuhkan. Bukan penguasa lalim yang arogan dan menindas kemerdekaannya sebagai manusia.

– Pendidikan :
Ada sementara daerah yang mendidik generasinya dengan filosofi laut. Ada daerah lain yang mendidik generasinya dengan filosofi hutan. Semuanya menganjurkan kebijakan menata alam.

– Seni :
Ada seni yang energik dan penuh semangat ada pula seni yang gemulai dan penuh ketakdziman. Ada seni yang gemar menggunakan pola-pola kasar yang jujur dan verbal, ada pula seni yang gemar menggunakan pola-pola penuh kias yang mengusung makna dan bermaian rahasia.

– Budaya :
Kebudayaan pun sangat beragam. Ada yang melarang warganya mengemis karena dianggap merendahkan martabat, namun ada pula yang mewajibkan punya pengalaman mengemis sesekali dalam hidupnya agar dia paham secara empiris derita kerendahan dan kesombongan.
Semuanya adalah keanekaan yang tak hendak menunjuk muka siapa yang lebih tampan dan muka siapa yang lebih buruk.

TUNGGAL IKA
Jika diartikan kasar, berarti ‘satu-satunya satu’ jadi Bhineka Tunggal Ika (BTI); beraneka satu-satunya satu, atau Beraneka satu kesatuan. Mungkin ini semantik klasik yang bermuatan sastra untuk berniat mengatakan ‘Beraneka menyatukan diri dalam persatuan’ namun sayangnya untuk kalimat ‘menyatukan’ seharusnya ‘manunggal’ bukan ‘tunggal’. Maka akan lebih cepat jarak pemahammnya jika BTI menjadi BMI ; Bhineka Manunggal Ika.

Oleh Negara, kalimat BTI dipilih sebagai slogan resmi. Semangatnya; menyatukan segala perbedaan ke dalam kesadaran satu tujuan mengabdi kepada Tuhan. Tapi pada perkembangan faktualnya, BTI lebih berfungsi tak mengakomodir perbedaan, malah membuat semuanya seragam. Dalam ranah pendidikan, fenomena Ujian Nasional jelas tidak mengakomodir _jika tidak bisa disebut : tidak mempercayai_ kemampuan daerah dalam hal memberi asupan pendidikan bagi warganya sendiri. Dalam ranah sastra, budaya, seni, perdagangan, hukum, sistem informasi, seleksi mutu, apakah benar-benar keanekaan itu masing-masing diberi ruang yang adil sebagai mutiara yang sama berharganya yang teruntai sebagai kalung bangsa untuk dipredikati sedang menjalankan pengabdian kepada Tuhan. Atau semua itu hanya semacam halusinasi bahwa semuanya seakan-akan saja diakomodir padahal tak benar-benar demikian. Kondisi ini menjadikan BTI menjelma menjadi istilah abstrak yang disemat negara dengan asas kebenaran tunggal, segala bhineka harus menjadi makmumnya. Maka tidak mengherankan jika daya tembus kalimat bhineka tunggal ika tak sampai pada nurani, tidak seperti sekian abad yang lalu ketika kalimat ini digaungkan.

Bisa jadi karena BTI disemangati keinginan sekedar dipopulerkan sedangkan hakekat pemahaman BTI tak ingin benar-benar ditancapkan sebagai pola kesadaran ruhani. Kebijakan tersebut, jika benar demikian pasti bukan kebijakan yang terdata dan terukur, melainkan sekedar kebijakan asumtif bahwa masing-masing orang Indonesia akan paham artinya sekaligus maknanya hanya dengan membaca penggalan kalimat itu atau dengan sedikit tatal sejarahnya.

SATU YANG MERASA TUNGGAL
Karena pada awalnya Gusti Allah memecahkan cahaya untuk mengkalimatkan berlaksa-laksa makna. Maka aneka itu per satuannya mengandung ayat yang sama jayanya. Masing-masing ayat itu memuat Nur-Nya. Yang Tunggal berkempuan ‘manjing’ pada masing-masing hamba. Tapi hamba tak bisa melakukan sebaliknya. Masing-masing satuan ini kemudian bernaluri untuk dibaca sehingga dia bekerja/menghamba kepada Tuhan sesuai fungsi yang dititahkan. Bisa bekerja untuk menyampaikan keadilan, kesejahteraan, kepemimpinan, kasih-sayang, kekuatan, kesabaran, dlsb. Bacaan-bacaan itu untuk mengenal konsep kekuasaan mutlak yang Haq dan para satuan ini bersinergi untuk manunggal dengan keEsaanNya. Kini, karena dalam perjalanannya ruang untuk manunggal ini semakin buntu karena akal tak tertarik dan terkesan dengan bacaan-bacaan itu maka dorongan untuk membongkar kebuntuan pun mengemuka. Ketika mengemuka akan ada energi memaksa dan menguasai. Di sinilah kemudian, Bhineka yang berlaksa-laksa merasa tunggal. Merasa mampu berdiri sendiri, merasa memiliki metode paling benar dalam menata kehidupan. Padahal Bhineka bisa jadi semacam keanekaan gerakan dalam Sholat. Ada jenis titah yang berdiri, merunduk, dlsb. Semuanya terangkai dalam satu rokaat. Keseluruhan sholat itu diikat dalam konsep Tauhid yakni mengabdi kepada Tunggal. Bahwa di tiap sholat ada rokaat ika, dwi, tri, hingga catur, namun keseluruhannya menggabungkan diri dalam kemesraan hamba dan Robbi. Wallahu a’lam bishawab.